Sabtu, 18 Juli 2009

ANTARA MANUSIA DAN MANUSIA

MARTIN BUBER

Ketika kapal Hammarskjold jatuh di Rhodesia utara, Sekretaris Jendral PBB menggenggam tulisan tangan dari terjemahan yang buat dari karya klasik Martin Buber I and Thou (Aku dan Kamu). Karena buku inilah dan filsafat dialog yang mengantarkan Dag Hammarskjold berulang kali dinominasikan Martin Buber dalam perebutan hadiah Nobel dalam bidang sastra. I and Thou (Aku dan Kamu) dikenal sampai saat ini sebagai sebuah maha karya abad dua puluh yang akan terus dikenang diabad-abad berikutnya, namun bagi banyak pembaca buku kecil yang kompak dan bernilai sastra ini memerlukan sebuah perkenalan sehingga bisa dipahami secara benar dan diaplikasikan kepada bidang nyata pengalaman manusia guna dihargai secara benar. Lebih dari karya Martin Buber yang lain, Between Man and Man (Antara Manusia dan Manusia) menyediakan perkenalan dan aplikasi-aplikasinya. Essay pembukaan pada “Dialogue”, sebagai contohnya, dengan kekontrasan antara “Dialogue” dan “Monologue” dan dengan anekdot-anekdot pribadinya, mewakili perkenalan terbaik dari filsafat Dialogue Buber. Sementara essay yang lain menunjukan penggunaan keterhubungan seperti terhadap: Etika religius, Politik, Filsafat Sosial, Pernikahan, Pendidikan Psikologi, Seni, Perkembangan Karakter, dan Filsafat Anthropologi, atau Penelitian masalah manusia.
Dalam catatan “Between Man and Man” Martin Buber menyatakan bahwa lima karya-kayanya disajikan secara bersama-sama dalam volume ini dan penerapannya terangkum dalam “I and Thou / Aku dan Kamu”. “Dialogue” mengklarifikasi prinsip “Dialogical” yang disajikan dalam “I and Thou / Aku dan Kamu”, mengilustrasikannya, dan membuatnya “menyesuaikan hubungannya terhadap esensi-esensi masalah kehidupan”. Terminologi dan cakupan dari “I and Thou” berbeda dengan yang terdapat dalam “Dialogue”. Dalam “I and Thou” Buber mengkontraskan dua sikap utama manusia –dua cara tersebut mendekati eksistensi. Salah satunya adalah hubungan “I and Thou”, yang lainnya adalah hubungan”I – It”. Perbedaan dua hubungan ini adalah bukan pada sifat dasar dari objek yang berhubungan, seperti yang sering difikirkan. Tidak semua hubungan antar orang adalah hubungan “I and Thou” demikian juga hubungan dengan hewan atau benda sebagai hubungan “I – It”. Perbedaannya, adalah, lebih dari, hubungannya itu sendiri. “I – Thou” adalah sebuah hubungan dari keterbukaan, keberlangsungan, mutualisme, dan keberadaan. Hubungan ini mungkin antara manusia dengan manusia, tapi bisa juga terjadi dengan, pohon, seekor kucing, sebentuk mika, karya seni, - dan melalui semuanya ini dengan Tuhan, “The eternal Thou / Kamu yang abadi” yang padanya garis parallel hubungan tersambungkan. “I – It”, kebalikannya, adalah sejenis hubungan subjek-objek yang didalamnya seseorang mengetahi dan menggunakan orang lain atau benda tanpa memungkinkan mereka ada bagi diri seseorang dalam keunikan mereka. Pohon yang aku temui bukanlah sebuah “Thou / Kamu” sebelum aku menemuinya. Dia melandasi ketiadaan pribadi yang berbanding dengan aku ketika aku lewat. Namun bila aku menemuinya dalam keunikan pohon-pohon lain atau penganalisaan jenis daun atau kayu atau penghitungan jumlah kayu bakar yang mungkin aku hasilkan darinya, kemudian aku bisa berkata dari sebuah hubungan “I – Thou” dengannya orang yang aku temui adalah, dengan pemilihan bahasa dan tingkah laku kita, seseorang sebelum aku menemui dia. Tapi dia belumlah “Thou” bagiku sampai aku melangkah kedalam hubungan elemen-elemen dengan dia, dan bila aku tidak melangkah dalam hubungan ini, bahkan bentuk yang paling sopan dari penyapaan tidak melindungi keberadaan dia bagiku sebagai sebuah “It / dia”. Aku tak bisa, tentu saja, menghasilkan sebuah hubungan “I – Thou” dengan tindakan dan kemauanku sendiri, karena dia benar-benar hubungan timbal balik saja bila yang lain datang menemuiku sebagai “I – Him / Aku – Dia”. Namun aku bisa mencegah hubungan seperti itu dari kemungkinan menjadi ada bila aku tidak siap merespon atau bila aku bermaksud merespon dengan segala sesuatu yang kurang dari keberadaanku.
“I – Thou / Aku – Kamu” dan “I – It / Aku – Dia” masing-masing berdiri sendiri dan kemungkinan yang penting antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak bisa berkehendak memunculkan hubungan “I and Thou”. Dia hanya bisa menginginkannya terus menerus guna membangkitkan ketidak langsungan dari dunianya menjadi keterlangsungan pertemuan dengan “Thou” dan oleh karenanya memberi dunia sebuah makna. Sejauh kemungkinan ini berlanjut, keberadaan manusia itu adalah otentik. Ketika dia mengguncang dan menghalangi kembalinya “Thou”. Maka keberadaan manusia menjadi tidak sehat, kehidupan sosial dan pribadinya tidak otentik. Penerapan ini sama dengan kekontrasan antara “Dialogue dan Monologue” yang Buber buat dalam “Dialogue”. Namun demikian disini perhatian pada dasarnya hubungan antara “Man and Man / Manusia dan Manusia”.
Dalam penjelasan “Dialogue” Buber memperkenalkan sebuah konsep yang ada hanya secara implisit “I and Thou / Aku dan Kamu”, yang mana dari “pengalaman dari sisi yang lain” sebuah hubungan. Tindakan “Inclusion / pencantuman” ini seperti Buber menyebutnya dalam “Education / pendidikan”, adalah bahwa yang membuatnya mungkin bertemu dan mengenal yang lain dalam “dialog tekhnik”, tentu saja tak ada pengalaman seperti yang lain terjadi karena disini perhatian hanya kepada apa yang dikomunikasikan dan bukan dengan lawan dialog mereka sendiri. Masih kurang adanya “Inclusion / Pencamtuman” dalam “monologue yang dianggap sebagai dialog”, bahwa pemutlakan diri seseorang dan relatifisasi yang lain membuat banyak perbincangan-perbincangan. Tanda-tanda sementara manusia adalah bahwa dia tidak benar-benar mendengarkan, kata Buber. Hanya ketika seseorang benar-benar mendengarkan – ketika seseorang menjadi sadar secara pribadi dari “tanda-tanda penyapaan / signs of address” yang menyapa seseorang tidak hanya dalam kata-kata tapi juga dalam pertemuan yang sering dengan yang lain – seseorang mencapai kepada lingkungan dari “Between / Antara” yang Buber pertahankan menjadi “Really Real / Kenyataan yang Nyata”.
“Semua jenis kehidupan nyata bertemu “kata Buber dalam “I and Thou / Aku dan Kamu”, dan antara manusia dengan manusia terus menerus mengarah kepada ketiadaan tujuan secara samar dari “Between / antara” sebagai kenyataan secara ontologi. Untuk menyatakan bahwa “semua jenis kehidupan nyata bertemu“ bukanlah mengatakan bahwa seseorang meninggalkan latar belakangnya guna bertemu dengan yang lain atau bahwa seseorang membiarkan dirinya sendiri tenggelam dalam keramaian dan bertukar individualitas seseorang untuk peranan sosialnya. “Dalam keramahan kedatangannya dan kekhidmatan kesedihan kepergiannya” – Ramah karena seseorang tak bisa berkehendak dalam dua sisi dialog dan sedih karena setiap hubungan “I – Thou” harus berubah menjadi sebuah “It/dia”, sementara “It/dia” tak perlu menjadi sebuah “Thou – hubungan “I – Thou” mengajari kita untuk bertemu dengan yang lain dan menggengam latar belakang kita ketika kita bertemu mereka. “Ini berarti bahwa mengalami sisi yang lain, atau, seperti Buber kemudian katakan, “Imagining the real/membayangkan yang nyata” berjalan seiring dengan tetap pada sisi milik seseorang dari hubungan oleh karenanya, bahkan pengalaman imajinatif dari keterhembusan yang aku berikan kepada yang lain atau pada kebahagiaan yang kulit orang lain rasakan dibawah pelukanku tidak harus dibingungkan dengan “Emphaty”, yang aku serahkan latar belakangku sendiri untuk sebuah pengenalan aesthetic sejati. Juga, seperti Buber tunjuk dalam “Education / pendidikan dan lebih jauh berkembang dalam catatan tambahan“ pada edisi kedua “I and Thou”, dalam hubungan pertolongan –mereka yang guru dan pelajar, orang tua dan anak, dokter dan pasien, menteri dan kabinet- ini mengalami sisi yang lain tak bisa diharapkan menjadi mutual tanpa merusak hubungan atau mengalihkannya menjadi persahabatan.
Ini adalah penekanan atas kenyataan ontologi dari “Between/Antara” dan atas kemungkinan pengalaman sisi yang lain dari hubungan yang membedakan
Buber dari existensilis seperti Kierkegaard, Heidegger, Sartre, dan bahkan Tillich. “Pertanyaan terhadap satu yang tungal memperjelas kritik fundamental / eksistensialisme Kierkegaard, yang menempatkan sebuah hubungan exclusive “I - Thou” antara “Single one / satu yang tungal” dan Tuhan serta meninggalkan hubungan-hubungan antara manusia dengan manusia dan tidak esensi. Tapi dalam “Apa itu manusia?” Buber menunjukan bahwa bahkan Martin Heidegger, untuk semua penekanannya atas kecemasan dan atas Dasein ist Mitsein (berada dalam dunia seperti berada dengan yang lain), tidak mencapai dasar dari dialog sesungguhnya. Nyatanya, seperti saya jelaskan dalam “antar – subjektifitas / intersubjectivity” dari “The world of existentialism / dunia eksistensialisme”, perhatian para pemikir seperti Sartre dan Heidegger dengan “Inter-subjectivitasnya” tidak mengimplikasikan hubungan “I – Thou / Aku – Kamu”, karena banyak interpersonal, hubungan secara intersubjektifitas tetap fundamental “I – It”. Seseorang hanya perlu mengkontraskan tingkah laku Sartre dalam menganggap cinta dalam “Being and nothingness / Keberadaan dan Ketiadaan” dengan kelakuan Buber dalam menganggap cinta dalam “Dialogue”, “Pertanyaan terhadap satu yang tunggal”, dan “Pendidikan” mengenali bagaimana Sartre membatasi hubungan manusia sebuah “Priori” untuk pengtahuan aku terhadap yang lain sebagai subjek hanya ketika dia mengenalaku sebagai objek atau, setidaknya, pengenalan kebebasan dia hanya sebagai sebuah kebebasan yang aku harapkan memiliki dan mendominasi oleh kebebasan diri sendiri melalui rayuan dia untuk bereinkarnasi kebebasan dia dalam jasadnya. Buber dalam kekontrasannya, memandang cinta sebagai pengenal kebebasan orang lain secara persis kesunguhan dialog yang didalamnya aku beralih kepada kecintaan Ku dalam keterlainan dia, kebebasan dan kenyataan diri dengan seluruh kekuatan niat dari dalam hatiku. Itu adalah pengenal yang membuat Buber pemimpin yang representatif dari semua ahli eksistensiliasme, seperti, Gabriel Marcell, Albert Camus, Karl Jaspers, dan Franz Rosenweig, yang memandang dialog, komunikasi dan hubungan “I – Thou / Aku – Kamu” bukan sebagai sebuah dimensi diri melainkan sebagai existencialist dan kenyataan ontologi yang didalamnya self/diri menjadi “Being/Keberadaan” dan melaluinya itu memenuhi dan mengotentikan dirinya sendiri.
Akan tetapi apa yang harus pembaca buat fakta bahwa Buber menawarkan hubungan “I – Thou” dari pertemuan dengan manusia, alam, dan seni yang terhadapnya dengan Tuhan? Bisakah penciptaan “tanda-tanda penyapaan benar-benar diperbandingkan dengan sapaan sadar yang dibuat terhadap aku oleh sejawatku? Ya, bila konsep dialog dipahami secara benar. Dialog tidak hanya melulu pertukaran kata-kata –Dialog yang asli bisa terjadi dalam keheningan, dimana sesungguhya perbincangan adalah benar-benar “Monolog”. Itu lebih dari sekedar, respon dari seseorang yang keberadaan sepenuhnya terhadap keterlainan dari yang lain, bahwa keterlainan yang dipahami hanya ketika aku merespon kebutuhan dia bahkan ketika dia sendiri tidak sadra bahwa dia menyapa aku. Tuhan yang berbicara disini adalah Tuhan yang seseorang temui hanya ketika seseorang mengenyampingkan segalanya seseorang berfikir seseorang mengetahui Tuhan dan diadukan kedalam kegelapan, ketika “Saat Tuhan” direhat kedalam “Tuhan Suara”. “Tuhan Suara” ini tidak berbicara kepada kita terpisah dari penciptaan tapi benar-benar melaluinya. Wanita mungkin jadi “Godaan Ketelanjangan”, seperti yang Kierkegaard fikirkan ketika dia mengorbankan tunangannya Regina Olsen kepada Tuhan, tapi dengan jalan kepada Tuhan adalah melalui “Ketelanjangan yang terpenuhi” . “Regina Olsen dari dunia ini adalah pagar rintangan diatas jalan kepada Tuhan. Mereka adalah jalan. “Perkawinan adalah “Ikatan yang bisa dipaki contoh” melaluinya kita bersinggungan dengan keterlainan yang nyata dari yang lain dan belajar memahami kebenaran dan ketidak benarannya. Keadilan dan ketidak adilannya. Setiap manusia memperpendek jalan kepada Tuhan adalah perpanjangan yang ada kepada Dia –Penciptaan yang didalamnya Dia tepasung dan dengannya Dia harus melakukan.
Tuhan tidak ditemui dengan berpaling jauh dari dunia atau dengan membuat Tuhan kedalam suatu objek kontemplasi, sebuah “Being / Keberadaan” yang eksistensialisnya bisa dibuktikan dan yang ciri-cirinya bisa diperagakan. Tuhan tidak hanya ditemui sebagai Tuhan hanya dalam dialog. Tapi dialog ini adalah yang berlangsung dari waktu kewaktu dalam setiap keadaan yang baru dialog yang membuat etika “Ougth / hendak” aku sebuah masalah respon yang nyata dengan seluruh keberadaanku terhadap apa-apa yang tak nampak dan yang unik. Aku bisa mengenal baik itu Tuhan ataupaun nilai-nilai / moral sebagai kenyataan yang ada yang bisa diketahui dalam diri mereka sendiri terlepas dari dialog yang didalamnya aku bertemu Tuhan dan menggali nilai-nilai. Dari alasan-alasan ini, Buber benar-benar dipahami tidak sebagai seorang ahli teologi – dia tidak memiliki asumsi-asumsi teologi atau dogma-dogma atas apa yang dibangun- atau bahkan sebagai seorang filsafat agama, tapi sebagai seorang ahli filsafat anthropologi, seorang penggali masalah-masalah manusia.
Itu adalah sebagai seorang filsafat anthropologi bahwa Buber mendekatkan “I and Thou / Aku dan Kamu”. Dia memperhatikan ketiadaan dengan menghilangkan kedudukan manusia dari konsep-konsep keseluruhannya dari keberadaan atau cosmos tapi dengan dua lipatan kelakuan itu yang membuat manusia manusia. Manusia menjadi lebih manusia melalui pergerakan dari keterpisahan manusia yang tidak lagi seorang anak kepada hubungan “Aku – Kamu” yang dewasa secara sama dalam karya “Antara manusia dan manusia / Between man and man” keaslian keberadaan manusia telihat seperti terbebas atas pembawaannya seluruh dia memisahkan bidang-bidang aktifitas kedalam “Kehidupan dialog”, sebuah kehidupan yang didalamnya orang tidak harus banyak yang dilakukan dengan orang lain tapi benar-benar harus melakukan dengan mereka dengan orang yang harus lakukan. Dalam pertanyaan terhadap “satu yang tunggal”, manusia dikenal sebagai satu makhluk yang memiliki potensi, potensi yang setiap orang menyadarinya bahwa tujuan dan tugas-tugas unik yang hanya dia yang bisa, “Ketika aku sampai disurga” kata Hasidic pendeta Susya sesaat sebelum kematiannya, “Mereka tak akan bertanya kepadaku,” Mengapa kamu bukan penganut ajaran Musa?” tapi “Mengapa kamu bukan Susya?” “Mengapa kamu tidak menjadi apa yang kamu bisa menjadi?”. Ini adalah kesalahan eksistensial yang datang ketika seseorang menyadari kesempatan dan gagal meresponnya.
Guru sejati bukanlah orang yang menumpahkan seluruh informasi kedalam kepala muridnya seperti melalui sebuah cerobong –pendekatan kuno- atau orang yang menghargai seluruh potensi-potensi seperti yang sudah benar-benar ada didalam muridnya dan hanya perlu dipompa –pendekatan progresif yang baru. Itu adalah orang yang merangkul hubungan timbal balik yang asli dan saling percaya yang mengalami sisi yang lain dari hubungan dan yang membantu muridnya menyadari, melalui seleksi dunia yang efektif, apa itu yang dimaksudkan menjadi seorang manusia. Pada akhirnya pendidikan juga, berpusat pada masalah-masalah manusia. Seluruh pendidikan pantas bersama bernama pendidikan karakter, kata Buber, dan pendidikan karakter terjadi melalui sanggahan imjinasi manusia yang guru bawakan sebelum murid dalam materi yang hadirkan dan dengan cara dia berdiri dibelakang materi.
“Apa itu manusia?” adalah kulminasi filsafat anthropologi dari “I – Thou” dan karya terbaru dalam “Antara manusia dan manusia”. Disini masalah manusia dihubngkan dengan sejarah dan analisa. Pada saat ketika manusia berada dirumah dalam cosmos yang ditata dalam kekontrasan bagi mereka ketika dia tidak dirumah, mereka ketika dia menjadi sebuah masalah bagi dirinya sendiri. Zaman kita terlihat seperti banyak Tunawisma dari seluruhnya karena memang kita kehilangan keduanya imajinasi dunia – fisika modern bisa menawarkan kepada kita hanya alternatif persamaan – dan nalar kemasyarakatan, ketuhanan antara insting dan jiwa yang Freud dan Max Scheller anggap sebagai sifat dasar manusia sesunguhnya adalah hasil dari penurunan kepercayaan dalam keberadaan komunal, dari perceraian manusia dan manusia. Masalah yang sesungguhnya bukanlah konflik antara individu dan masyarakat tepi individualisme atau kolektifime yang dalam cara yang sama dan berlawanan merusak kehidupan asli dialog. Manusia bukanlah seekor gorila dan bukan juga rayap. Dia adalah makhluk dari “antara / between”, dari kejadian antara manusia dan manusia yang tidak bisa kurang pada sebuah jumlah dari dua individu atau kepada sebuah realitas psikologi yang remeh dalam fikiran masing-masing.
“Apa itu manusia?” juga membentangkan karya utama bagi tahapan akhir yang penting dari filsafat Buber, perkembangan sistematisnya dari filsafat anthropologi dalam “Pengetahuan Manusia”. Essay ini dalam volume –“Distance and Relation / Jarak dan Hubungan”, “Elemen-elemen antar makhluk” “Apa yang umum dari semuanya” “Bersalah dan perasaan bersalah”, “Kata yang diucapkan”, “Manusia dan karya imajinasinya” dan “Dialog antara Martin Buber dan Carl Rogers”- mewakili sebuah perkembangan baru dalam pemikiran Buber, dan keberartian mereka sulit diperkirakan. Mereka membawa serta Buber dalam ranking dari “Para Pilsuf tekhnik”, dalam uji langsung terminologi tersebut, dan mereka menunjukan seluruh keseluruhan dan kekonkritan implikasi-implikasi anthropologi Buber bagi teori-teori pengetahuan, filsafat sosial, bahasa dan pembicaraan, seni, pendidikan dan psikoterapi. Walau mereka tak bisa terfikirkan tanpa metode filsafat ahli anthropologi yang Buber telah kembangkan dalam “Apa itu Manusia?” : Partisipasi yang mengetahui dalam itu dikenal, pengumpulan kembali seluruh kejadian sebagai yang dilawankan terhadap tujuan para psikolog guna mengobservasi pengalaman dia sendiri seperti yang terjadi, toleransi dari kelangsungan dari keterpurukan dan kesendirian seperti halnya juga pemilikan kelompok yang didalamnya orang masih mempertahankan ikatan-ikatan garis tanggungjawab pribadi.
Antara manusia dan manusia itu sendiri adalah klasik, orang yang menerbitkan kembali telah lama dinantikan. Walter Kaufmen membuat pusat penggunaan essay Buber “Pertanyaan pada satu yang tunggal” dalam studinya dari Nietzche, dan William Barret memperkenalkannya dalam “The Irrational Man” yang Buber anggap lemah dari kemasteran Barret sendiri, Martin Heidegger, dalam kritiknya kemudian dalam “Apa itu Manusia?” Aristolteles, Feuerbach, Nietzche, Kierkegaard, Scheller, Freud, Augustine, Pascal, dan para pemikir terkemuka liannya dari yang sekarang dan yang lalu dipertahankan dan dibawa dalam perkembangan fokus pemikiran secara dialog Buber dalam lima karya “Antara manusia dan manusia”. Edisi baru ini berisi “Sejarah prinsip dialog”. Didalam nya Buber mempersembahkan hasil pertama dalam Bahasa Inggris dari perkembangan filsafat “I – Thou” dari para pilsuf Jacobi abad delapan belas dan para penulis abad dua puluh seperti Gabriel Marcell, Karl Lowith, Hermann Cohen, Franz Rosenzweig, Ferdinand Ebner, Karl Jasper dan Karl Bath. Ini semua memperkaya pemikiran-pemikiran Buber sendiri pada abad kita yang berhubungan dengan kehidupan dialog.

SEJARAH PRINSIP DIALOG
Pada setiap masa tak diragukan lagi telah muncul esensi resiprocal hubungan antara dua keberadaan yang meberi arti sebuah kesempatan utama dari keberadaan, dan salah satu, nyatanya, yang masuk dalam Penomena dimana mausia berada. Dan itu juga sekali lagi pernah muncul bahwa hnaya melalui fakta-fakta yang dia masuk kedalam esensi-esensi repsiproksitas, manusia menjadi tampak seperti manusia ; sesungguhnya, bahwa hanya dengan ini dan melalui ini benar-benar dia memperhatikan partisipasi yang resmi dalam keberadaan yang disediakan untuk dia ; dengan demikian, yang dikatakan “Kamu” oleh “Aku” berdiri dalam keaslian dari seluruh individu yang manusia menjadi.
Keheranan ini diungkapkan dalam immediasi dari bahasanya sendiri dalam sebuah surat yang ditulis pada tahun 1775 oelh Friedrich Heinrich Jacobi kepada orang yang tak dikenal (tercantum dalam sebuah surat tahun 1781 dari Jacobi kepada Laveter). Disana diketahui: “Aku membuka mata atau telinga, atau aku menggarukan tanganku, dan merasa dalam moment yang sama terinspirasi : “Thou and I / Aku dan Kamu”, “I and Thou / Aku dan Kamu”. Dalam peralihan pembicaraan, dalam pandangan yang dinyatakan disini diungkapkan dalam satu “Pamplet Jacobi” : “Sumber dari semua kepastian : Kamu dan Aku!” dan rumusan jadi (1785) terbaca: “Aku adalah tak mungkin tanpa kamu”.
Hanya setengah abad kemudian, Ludwig Feuerbach –seorang pemikir yang sepenuhnya berbeda sifat dasarnya dari Jacobi, namun orang tak mungkin tak terinspirasi sepenuhnya oleh dia- berhasil dalam menggabungkan pengetahuan dia dari hubungan utama dari “Aku dan Kamu” dalam tesis tambahan ilmu filsafat. Pada mulanya dia meneukan dirinya hanya diruangan depan gedung yang terbuka dengan sendirinya untuk dia; ”Kesadaran dari dunia dimediasikan untuk “Aku” melalui kesadaran dari Kamu” dan yang dirinya sendiri seorang “Kamu” yang tegak terhadap “Aku” yang lain. Segera setelah ungkapan ini, yang tak bertanggal jelas merupakan inspirasi orang jenius. Feuerbach menulis, berhubungan dengan “Misteri keterpentingan kamu terhadap aku”, pernyataan yang secara manifestasi memiliki karakter bagi dia dari validitas terakhir, dan pada pandangan ini dia tetap bahkan tanpa mencoba untuk melangkah lebih jauh : “manusia bagi dirinya sendiri adalah manusia (Dalam pandangan biasa) –manusia dengan manusia – penyatuan aku dan kamu adalah Tuhan. Disini pandangan utama dari cara berfikir telah berkembang secara tetap namun dalam pernyataan yang sama itu telah melangkah lebih jauh dalam ketidak terbatasan dari mistisisme yang buruk dimana para pilsuf tak bisa lagi berharap mempertahankan dia. Kalimat ini jelas, sadar atau tidak, diarahkan menentang pandangan dasar Jacobi yang mengarahkan dia dalam surat itu, setelah dia menerbitkan “Kamu” sebagai sebuah kesatuan yang membumi (“yang lainnya merupakan dukungan terhadap eksistensi kepemilikan seseorang; sebuah “kamu yang tercinta) untuk menyapa Tuhan dengan “Kamu” yang sama. Terhadap penyelarasan manusia ini dan membagi “Kamu”, Feuerbach tidak menjawab dengan tuntutan dari sebuah resonansi radikal. Konsep Tuhan tapi dengan penggantian sebuah ersatz secara anthropolgi dari Tuhan. Kebalikan dari kesimpulan secara logika, “Kesatuan “Aku” dan Kamu” adalah manusia dalam nalar yang sejati. Dia memperkenalkan sebuah pseudomatic tatanan yang baik dari dirinya sendiri atau juga orang lain setelah dia bisa mengisinya dengan isi yang sebenarnya.
Pembatasan konstruksi dari penggunaan umum difasilitasi sebuah waktu yang singkat setelah kemunculan SOREN KIERKEGAARD, yang mengungkapkan pada saat yang sama Feuerbach menyangsikan kesejatian. Kategori “Satu yang tunggal” yang menempatkan dia sebelum masanya yang dipahami, dalam kesadaran langsung, sebagai presuppose yang desesif bagi esensi hubungan tertinggi ; bagi Tuhan “menginginkan satu yang tunggal itu dikagumi atau tidak berarti, hebat atau lemah”, tapi disana berlaku disini, bila tidak secara fundamental atau setidaknya secara faktual, pembatasan yang kritis. Kierkegaard menuntut, untuk memastikan, bahwa manusia juga berlaku sebagai satu yang tunggal dengan sejawatnya, tapi hubungan dengan sejawatnya tidak menjadi hubungan yang esensial dalam nalar yang pasti itu. Itu tak bisa menjadi seperti untuk kierkegaard, tak peduli bagaimanapun hebatnya dia mengetahui cara mengajarkan tentang cinta seorang tetangga. Ketika Jacobi melaporkan dalam suratnya tentang – immediasi dia. Dia memecahnya menjadi perasaan yang berlebihan ungkapan darinya secara sastra (“Hati! Cinta! Tuhan!”) mengingatkan orang akan jawaban Faust terhadap Gretchen- Unfaust melawan hanya dari waktu itu sesungguhnya. Dengan demikian “kamu” dari orang lain dan bahwa Tuhan yang tergabung walau bahaya bukan bersama tidak bisa dihindari. Dalam kekontrasan yang ekstrem terhadap ini, manusia “Kamu” dalam eksistensinya pemikiran Kiergaard tidak pernah transparan kedalam yang terbagi, ikatan itu tak pernah menjadi tak terikat. Dari ini tak ada pertanyaan hebat yang telah ditujukan bagi keberhasilan generasi yang meminta sebuah fakta apa adanya dan pelebaran impersial dan responnya. Untuk pemecahan dari ketuhanan antara “Kamu” dan “Kamu” memperlakukan menyesatkan keberartian yang paling dalam dari penggalian “Aku” dan “Kamu”. Bahaya yang muncul kemudian dari ateisme mistis sekarang muncul dari piety theistic.
Hanya enampuluh tahun kemudian, pada saat Perang Dunia I, pergerakan benar-benar memulai yang baru diluar pengalaman waktu vesuvian, sebuah kerinduan yang aneh menyadarkan pemikiran melakukan pengadilan terhadap keberadaannya sendiri. Kerinduan ini bahkan menangkap pemikir-pemikir secara sistematis. Ini berarti bahwa pandangan “Thou” diperbaharui pertama kali oleh pemikir Neo-Kantian Hermann Cohen yang dekat dengan kamtian dimusim dingin tahun 1917 – 1918, menulis buku “Religion der vernunft aust den quellen des judentums (the Religion of reason out of the source of Judaism, 1919). Itu mungkin dihubungkan sebagai sebuah kelanjutan garis Jacoobi ketika diperkenalkan disini bahwa “hanya” kamu, penggalian “Kamu” membawa aku” kepada kesadaran “Aku” punyaku dan bahwa itu adalah “kepribadian” yang “dimuncullkan oleh Kamu” kepada cahaya hari”. Tapi sesuatu tak terungkapkan dalam filsafat menjadi eksplisit ketika itu mengatakan hubungan resiprokal manusia dan Tuhan, “hubungan” mereka, yang dia bisa “tidak memasuki kelengkapan bila itu tidak dilaksanakan oleh hubungan inklusif manusia dengan manusia”.
Keheranan Cohen murid Franz Rosenweig pada musim dingin itu telah menjadi dibebaskan dengan Religion der vernunft dalam bentuk tulisan tangan dan membosankan dalam pemikirannya – tanpa, pasti, dipengaruhi secara sentralistis olehnya. Rosenweig tidak memindahkan dirinya sendiri telalu jauh dari Kierkegaard seperti Cohen melakukannya ketika, dimusim semi berikutnya di Macedonia, dia mulai membangun Der stern der erlosung (Star of redemption, 1921) dia. Tapi dalam pemahaman “Kamu” seperti sebuah yang dikatakan satu, dibakar oleh kekongkritan yang solid dari filsafat pembicaraan dia, dia melampaui Cohen esensi keterbicaraan dari “Kamu” adalah bagi dia disis dalam dimana seni “Kamu”? yang diarahkan oleh Tuhan terhadap adam. Menafsirkan ini, dia bertanya : “Dimanakah kemandirian kamu yang seperti itu, berdiri bebas menentang Tuhan yang tersembunyi, sebuah “Kamu” yang kepada dia bisa menyatakan dirinya sendiri sebagai “Aku”? dari titik ini sebuah hal dari al-kitab jalan kepada bahwa “Aku” telah memanggil kamu dengan nama; kamu adalah milikku”. Menjadi nyata bahwa olehnya Tuhan menunjukan dirinya sendiri “Sebagai Pengatur” dan pembuka dari seluruh dialog ini antara dia dan jiwa”. Ini adalah kontribusi rosenweig yang paling berarti dari teologi untuk permasalahan kita.
Dibulan februari 1919, “Bintang” terlengkapi. Tapi dimusim dingin yang sama dan dimusim semi yang mengikuti, Ferdinan Ebner, seorang guru sekolah katolik di propinsi Austria, diserang sakit parah dan depresi, menulis potongan-potongan pneumatological dia yang dia kumpulkan kemudian dalam sebuah buku Das wort und die geistigen realitaten (The world and the spiritual realities, 1921). Ebner melanjutkan dari pengalaman-pengalaman dari “kemandirian “Aku”” (Ichein samkeit) dalam nalar eksistensial tersebut bahwa dia telah memenangkandalam waktu kita: Ini adalh untuk dia “Tak ada yang asli” tapi hasil dari “Pendekatan dari “Kamu”, mulai dari sini, diikuti percobaan Hammann namun mengikat pandangan lebih kuat antara yang satu dengan yang lain, dia mempenetrasikan lebih dalam lagi kedalam misteri pembicaraan seperti pendirian yang selalu baru dari hubungan antara “Aku dan Kamu”. Dia mengenali dirinya sendiri, dalam gaya yang lebih langsung daripada Kierkegaard sebagai seorang yang tidak mampu menemukan “Kamu” dalam manusia. Setlah tahun 1917 dia telah mengindikasikan bahaya pendalaman spiritual dalam kesadaran dari ketidak mungkinkan ini. Dia menemukan pemecahan dalam fikiran :”hanya ada satu “Kamu” yang tunggal dan itu adalah “Tuhan” untuk meyakinkan, dia juga mendalilkan, seperti yang Kiergaard lakukan : “Manusia akan mencintai tidak hanya Tuhan tapi juga manusia”. Tapi dimana pertanyaan keotentikan eksistensi, setiap “Kamu” yang lain menghilang bagi dia sebelum berhadapan dengan Tuhan bila kita bertanya disini, seperti dengan kierkegaard tentang apa yang akhirnya syah, kita berdiri lagi sebelum hubungan diri individual yang menatap pada dunia tapi adalah sebuah cosmic cepat pada akhirnya yang mencintai manusia tapi adakah ananthropic cepat pada akhirnya.
Pada titik ini aku harus berbicara pada diri sendiri:
Pertanyaan kemungkinan dan kenyataan dari hubungan dialogis antara manusia dan Tuhan telah menegur aku dalam masa mudaku. Dialog ini mengimplikasikan sebuah kemitraaan yang bebas dari manusia dalam sebuah percakapan antara surga dan bumi yang memiliki pembicaraan dalam sapaan dan jawaban yang terjadi dengna sendirinya, kejadian dari atas dan kejadian dari bawah sebagai contoh, karena tradisi Hasidic telah tumbuh bagiku menjadi dukungan bagi pemikiran ku sendiri, sejak sekitar tahun 1905 yang telah menjadi sebuah pertanyaan dari yang paling dalam bagiku. Dalam bahasa tulisan atas prinsip-prinsip dialog yang muncul beberapa tahun kemudian, dia muncul secara empati pertama kali: dimusim gugur tahun 1907 dalam perkenalan terhadap buku ku legenda Baal Sheea, perkenalan ini dihubungkan dengan perbedaan radikal antara mitos dalam kesadaran yang lebih buntu (Mitos dari Mitologi) dengan legenda. Dikatakan :
Legenda adalah mitos pemanggilan. Dalam mitos murni tak ada perbedaan “Keberadaan”…bahkan pahlawan hanya berdiri diatas deringan yang lian dari pada Tuhan, tidak lebih melawan dia: Mereka bukan Aku dan Kamu…Tuhan mitos sejati tidak memanggil dia memperanakan: Dia mengirim empat yang diperanakan, pahlawan. Tuhan dari legenda memanggil, dia memanggil anak dari manusia: Nabi roh kudus…legenda adalah mitos “Aku” dan “Kamu” dari pemanggil dan yang dipangil, dari yang terbatas yang masuk kedalam ketidak terbatasan dan dari keterbatasan yang memerlukan ketidak terbatasan.
Disini hubungan dialogis adalah kemudian ditunjukan dalam puncaknya yang tertinggi: bahkan karena atas ketinggian ini esensinya berbeda antara mitra yang meneguhkan yang tak terlemahkan bahkan ketika dalam kedekatan sejenis itu kemandirian manusia terus dipertahankan.
Dari kejadian pengecualian ini dari ekstrasi, walau bagaimanapun, pemikiranku sekarang membimbingku jauh lebih memadainya, kepada ke-umuman yang bisa dialami oleh semua klarifikasi terjadi pertama kali disini juga dalam hubungannya dengan pemahamanku terhadap Hasidisme: dalam mukadimah tertulis september 1919 untuk buku ku Der Grosse Maggid und seine nach folge (1921) ajaran Yahudi dijelaskan sebagai “Seluruh hubungan atas dasar dua arah dari manusia “Aku” dan bagian “Kamu”, atas balasan, atas pertemuan”. Segera sesudahnya dimusim gugur 1919 mengikuti yang pertama masih tidak secara luas draft dari aku dan kamu.
Dua tahun kemudian yang mana aku hampir tidak bisa mengerjakan karya seni apapun kecuali materi Hasidic, tapi juga –dengan pengecualian discours de la methode Descartes yang kuambil lagi- membaca No-Philosopica (Oleh karenanya, karya-karya yang dihubungkan dengna subjek dialog oleh Cohen, Rosenweig dan Ebner aku hanya membacanya kemudian, terlalu lambat mempengaruhi pemikiran ku sendiri) ini adalahh bagian dari prosedur yang aku pahami saat ini sebagai sebuah penelaahan spiritual. Kemudian aku mampu memulai tulisan akhir dari “Aku” dan “Kamu” yang dirampungkan dimusim semi 1922. Ketika aku menulis bagian ketiga dan terakhir. Aku pecah pembacaan penelaahan dan mulai dengna fragmen-fragmen Ebner bukunya menunjukanku seperti tidak ada sejak yang lain kemudian disini dan disana dalam hampir kedekatan kengerian, bahwa dalam waktu kita ini manusia beragam jenis dan budaya telah mencurahkan diri mereka sendiri kepada pencarian harta karun yang terkubur. Segera aku juga memiliki pengalaman-pengalaman yang sama dari arah yang lain.
Dari para penggagas, aku telah menjadi bagian dari keberadaanku seperti seorang murid telah mengenal Kierkegaard, dan Feuerbach : Ya dan Tidak terhadap mereka. Sekarang ada yang mengelilingi aku dalam jiwa lingkaran pertumbuhan manusia dari generasi saat ini yang diperhatikan bahkan bila dalam pengukuran yang tidak sesuai, tentang satu hal yang telah menjadi bagiku sebuah masalah yang lebih vital. Pandangan dasar dari dua lipatan sifat dasar manusia diungkapkan dalam permulaan dari “Aku” dan “Kamu”. Tapi aku telah mempersiapkan cara bagi pandangan ini dalam perbedaan yang dihadirkan dalam bukuku Daniel (1913 ”Antara pengorentasian”, “Pengobjekan”, “Tingkah laku dasar”, dan “Sebuah penyadaran”, membuat saat ini seseorang. Ini adalah perbedaan yang tak sengaja terjadi dalam pertaliannya dengan yang dibawa melalui “Aku” dan “Kamu”. Hubungan antara “I-It” dan hubungan “I-Thou”, kecuali bahwa kemudian tak lagi didasari dalam relung-relung kehidupan subjektifitas tapi dalam antara keberadaan “Keberadaan”. Tapi ini adalah transformasi desesif yang terjadi dalam rangkaian jiwa-jiwa pada waktu Perang Dunia I. Dia mengumumkan dirinya sendiri dalam arti yang beragam dan lompatan-lompatan namun hubungan yang fundamental antara mereka, pemotongan transformasi yang tidak erat dari keadaan manusia adalah tidak bisa disalahkan.
Sejumlah publikasi dari dekade yang mengikuti karya-karya terdahuku harus dibawa bersamaan dibawah yang utama seperti berasal dari periode waktu yang didalamnya klarifikasi dilengkapi.
Diluar lingkaran Rosenweig muncul buku-buku dari dua pemikir Protestan: Hans Ehrenberg “Diputation I fichte (1923) dan Eugen-Rosenstock-Heussy “Angewandte seelenkunde (1924)”, yang mana oleh Rosenweig; yang mengenal versi awalnya, secara desesif terpengaruh dalam tulisan itu, (C.f, juga Rosenstock-Huessy “Der atem des geistes” (The breath of the spirit, 1951).
Diluar teologi Protestan, Frederick Gogerten, “Ich glaube an den dreieigen gott (I believe in the three in-one God, 1926), pasti pertama kali dinamai. Buku ini memahami sejarah sebagai “Pertemuan “Kamu dan Aku””, tapi pada saat yang sama dia berpegang teguh pada tesis Non-dialektical bahwa “Sejarah adalah karya Tuhan”, dan dengan demikian gagal memegang karakter sejarah sebagai pertemuan. Dalam penulis yang sama “Glaube und wirklichkeit (faith and reality, 1928), mengajarkan bahwa pertemuan “Kamu dan Aku” adalah kenyataan yang dikehendaki sebagai sebuah konsistensi sederhana bagian dari reformasi Protestan. Kemudian kita memiliki sebelum kita disini Karl Heim percobaan sistematis menyeluruh filsafat teologi Glaube und denken (Faith and Thought, 1931) yang didalamnya keberartian arah baru pemikiran diarahkan pada hal yang lebih empati (“Bila saat pertama hubungan “I-It” adalah terhadap yang terdahulu dan sekarang “Thou” membuka kepada kita…revolusi yang jauh lebih radikal telah terjadi daripada penemuan bagian-bagian baru dari dunia atau penggalian sistem-sistem matahari-matahari yang baru. Keseluruhan ruang waktu “It-World”, termasuk semua konstelasi-konstelasi dan nebula galaksi telah memasuki sebuah perspektif yang baru”). Bahkan dalam karya-karya Emil Brunner dari periode ini masalah kita sudah tercakup.
Filsafat Katolik yang dihasilkan saat itu, sebelum semua, Gabriel Marcell “Journal Methaphysique (1927), yang didalamnya secara mandiri darinya bahwa dikatakan sampai kemudian dalam Bahasa Jerman, pandangan pokok nampak tercata dalam keadaan yang aktual. Itu dimana-mana tidak tertandingi terhadap pengalaman-pengalaman elemental dari pemikir Katolik Ebner, untuk kedalaman kerajaan pembicaraan tak tersentuh disini. Masih merupakan fakta bahwa disana timbul lagi disini tesis fundamental dari “Aku dan Kamu”, bahwa “Kamu” yang abadi dengan sifat dasarnya tidak bisa enjadi sebuah “IT”, mengungkapkan keuniversalan dari perkembangan spiritual yang dengannya karya picisan ini tehubungkan.
Perkembangan ini juga terjadi didalam “Free / bebas” filsafat –yang dengannya dimaksudkan bahwa yang tak lagi, seperti itu dari Descartes atau Leibniz, secara eksistensi berakar dalam sebuah kenyataan keyakinan dan oleh karenanya secara fundamental diluar perhatian tentang hubungan antara antar-bagian dengan “Kamu” yang tak terkondisikan. Empat karya periode tersebut berdiri dalam tatanan terdahulu : Theodore Litt “individuum und gemeinschaft” (Individual and community, 1924, 1926). Karl Lowith “Das individuum inder rolle des mitmenschen (The individual in the role of fellowmen, 1928), dan Karl Jasper Philosopie II dan III (1932).
Bagi Litt konsep “pengalaman "Kamu"” adalah desesif; namun secara tak bersalah menembus bidang psikologi ketika dia menatap, contohnya, sebuah perubahan hubungan terhadap kedatangan dunia “diluar hubungan dialektical dari dialogis sejati.
Buku Lowith adalah kontribusi yang berbeda dari phenomonologi, sebuah analisa struktural yang kompeten, khususnya penetrasi dalam evolusinya dari Wilhelm Van Humboldt penemuan luar biasa dalam filsafat bahasa. Tapi ketika sebuah pintu tak terantisipasi nampak terbuka, Lowith tidak bisa menghindarinya.
Konsistensi logika lurus dan lebih lurus lagi dari kritik radikal mengorbankan banyak isi konkrit dari hubungan "Kamu" dari pertemanan dalam eksistensi sapaan dan respon. Itu tetap tak tercatat disini bahwa dalam sebuah pertemuan nyata dengan tetangga ku, prkatek perbincangan belaka mendengarkan keberlainan dari yang lain yang Griesebach tuntut mungkin meninggalkan bantuan yang ada dalam pertanyaan: Ketidak terlipatan sesuatu yang harus dihubungkan dalam persamaan. Memungkinkan seseorang benar-benar dibatasi oleh "Kamu" yang penting, tapi itu mungkin jauh lebih penting menyandarkan diri seseorang terbuka bersama dengan dia sebelum yang tak terbatas membatasi kita berdua. “Disapa oleh keabsolutan”, kata Grisenbach”, adalah sebuah dogma dari kenangan”. Tapi apakah bila seseorang disapa olehnya dalam keberadaan orang lain dan hanya melaluinya, tentu mengklaim sebagai kepemilikan dia, suatu ketidak terkondisikan tapi pernah terkondisikan. “Ketidak tertawarkan dia kejelasan merintangi dia dari pengenalan bahwa itu kenyataan yang menjadi sapaan –bukan, tentu saja dengan “absolut”, yang tidak bicara, tapi oelh Tuhan yang berbicara dunia kepadaku –yaitu apa yang membakar semua klaim terhadap kepemilikan mutlak.
Karl Jasper barasak dari sini melalui tahapan komunikasi dalan “existenzerhellung (Philosopie II) dan bahwa atas ajaran rancangan yang kebih ringan dalam “Metaphysik (Philoshopie III). Kedua-duanya bersama-sama membentuk kesimpulan dari tahapan perkemabngan yang didalamnya filsafat “Free” menempati penemuan baru dengan mengkurangjannya. Aku katakan “mengurangkan” karena hubungan transcenden dengan kenyataan di perlakukan dengannya sebagai arbitrase; peningkatan ketidak terikatan dari "Kamu" adalah dalam dampak, dibatalkan, tak lagi berpegang teguh pada tatanan awal dari sebuah kenyataan keyakinan, filsafat ini meyakini bahwa bila itu hanya merupakan keadaan dasar dari eksistensilis dari orang yang difilsafatkan, itu akan bisa mengatur ketidak terhalangan dalam tanah yang baru, dia itu berhasil setelah gayanya.
Kita telah mengenal bahwa hanya "Kamu" yang sama yang pergi dari manusia keada manusia adalah "Kamu" yang menurun dari bagian diri kita dan naik dari kita kepada bagian. Itu dulu dan sekarang pertanyaan dari ini bahwa adalah umum dua hubungan, berlawanan sehingga secara ungkapan tidak umum. Bahwa al-kitab kesatuan cinta dari Tuhan dan cinta manusia dalam dua perintah langsung pendangan kita dari "Kamu" yang terbatas, yang muncul dimana dan ketika dia akan sekarang, bagaimanapun, perkataan kita "Kamu" terhadap ketuhanan dipastikan sebagai tak resmi. Tentu saja filsafat di qualifikasikan untuk menjelaskan bahwa “filsafat keberadaan” tidak mengganggu kita “mendekatkan kita pada Tuhan yang tersembunyi”. Tapi tidak diqualifikasikan untuk merancang seperti berdo’a “Boleh dipertanyakan” yaitu dengan demikian aneh untuk pengalamannya.
Itu tidak esensial kecuali dengan pengajaran pembacaan karya-picisan “Tanda”, kita telah catat,”Terjadi pada kita begitu saja menghidupkan arti disapa”, dan “Apa yang menghalangi aku adalah sebuah sapaan kepadaku”, sesuatu yang sama nampak dimaksudkan ketika filasafat ilmu menunjukan pada kita fakta bahwa “dunia bukanlah pembukaan rahasia langsung, tapi hanya sebuah percakapan yang tanpa menjadi resmi secara umum, adalah pada saat sejarah bisa diterima oleh keberadaan danbakan kemudian tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, “dan ketika, masih lebih awal, dikatakan transenden: “Itu datang kedalam dunia sebagai suatu makhluk asing berkekuatan dari jaraknya yang berarti dan berbicara terhadap eksistensi: “pendekatannya tanpa menunjukan lebih dari sebuah yang tak berarti. dari kejahatan sejelas itu pada ketuhanan”. Oleh karnanya itu menjadi nyata bagaimana berbedanya apa yang dikatakn disini dan apa yang talah kita katakan adalah maksud. Betapa indahnya transcenden yaitu didalamnya rancangan –tak berarti menjadi membingungkan secara fatal! Menahan kejahatan, berbicara secara mitos, demi kehormatan, bahkan walau dia memiliki kekuatan banyak yang dengan arahan dia dia tidak bisa hanya sebuah masalah tapi kemarahan Tuhan, Jasper tidak melakukannya dengan tidak ragu-ragu. Bila konsep karya tak berarti adakah untuk memiliki tujuan jelas, maka pengadilan ayng berarti harus menajdi pra-anggapan yang mampu memberaritkan secara benar karya yang dimaknakan bagi kehiudpan ku, sebuah pengadilan yang dengan demikian akan juga membuat keberartian tersebut mungkin, bahkan walau dengan kesulitan. Tentuya Jasper menjelaskan disini secara ungkapan bahwa “Kesadaran ynag sesungguhnya dari transcenden “menjaga dirinya sendiri dari pemikiran Tuhan” sederhana seperti “kepribadian”. Banyak orang dengan keyakinan mungkin benar-benar setuju dengan pernyataan ini –hanya bila kata “sederhana” dimaknakan secara benar bagi dia, manusia keyakinan ini, Tuhan memang bukan manusia; dia adalah bagi dia juga orang, juga berada diantara mereka, pengalihan Tuhan, masuknya dia menjadi atar-bagian dengan dia, manusia dari keyakinan. Namun dengna demikian, walau dia sederhana, Jasper dalam tidak ada kebijakan ingin dipahami. “Aku berbalik dengan segera”, lanjutnya “dari kata hati untuk membuat ketuhanan suat "Kamu", karena aku merasa bahwa aku menyerang transcenden. “Dengan demikian Tuhan mungkin adalah segalanya tapi tidak hanya seorang manusia, dan untuk alasan ini, sesungguhnya, bahwa kepribadian, per defitionem, adalah “model keberadaan yang oleh sifat dasarnya tidak bisa sendiri”. Karena walau definis demikian harus juga memegang kebenaran dalam paradox keabsolutan manusia, ketika keabsolutan, sejauh mungkin seperti itu bisa difikirkan dari seluruhnya, bisa muncul terhadap pemikiran hanya sebagai Compexio oppositorum!, dan bila itu bahkan syah mengatakan, seperti yang Jasper lakukan, “Ketuhanan membutuhkan kita, mausia yang diciptakan untuk kounikasi dengan Tuhan. Akhirnya, bagaianapun, itu dijaga bahwa “Komunikasi dengan ketuhanan” memiliki “tendensi untuk menyembubikan komunikasi diantara mereka, “untuk “Komuniasi dari diri kepada diri sebagai realitas kenyataan yang sesungguhnya yang didalamnya transcenden mungkin berbicara yang dilumpuhkan bila transcenden dibawa terlalu dekat dan didegradasikan oleh secara langsung di hubungkan untuk sebagai "Kamu". Satu catatan : orang yang berada yang dengan rendah hati berani mengubah kepribadian immediasi kepada kerberadaan dirinya hanya dengan mendegradasikannya dan hanya dengan ketimpangan dalam dirinya sendiri kemampuan untuk mengkomunikasika dengan sejawatnya didalam apa yang tak tampak menajdi gagasan yang sama, disini kutub berlawanan menjadi manifestasi terhadap pandangan kita.
Kesimpulan filasafat ini, yang tanpa terminasi, diikuti oleh dua dekade yang didalamnya banyak catatan yang pantas karya-karya muncul, yang harus tetap tidak didiskusikan disini, khususnya dalam evaluasi pandangan baru bagi lapangan-lapangan intelektual seperti sosiologi, pedagogi, psikologi, psikoterapi, dan teori seni. Hanya satu dari karya-karya tersebut, satu yang pentingmemastikan, aku tidak bisa meninggalkan masuk kedalam, untuk suatu jalan pintas didalamnya membuat sebuah penjelasan prbadi yang faktual dengan ku, yang penting, itu dalah Karl Barth Kirchliche dogmatik, bagian dua, “doctrine of the creation” (1948).
Untuk presentasinya “bentuk dasar kemanusiaan”, Barth, dalam seluruh keseluruhan dan keaslian kekutan pemikiran teologi dia, mengkaliam akquisi spesifik dari gerkan spiritual, jeda dari yang dihancurkan dalam abad-abad kedelapan belas dan sembilan belas oleh sbuah non-gereja tapi mempercayai idealis dan tak percaya materialis. Pada abad kedua puluh gerakan ini menemukan, dalam beberapa ukuran, sebuah ungkapan yang sesuai melalui ketidak pentingan partisipasi dari sebuah keyakinan yahudi. Bukan Barth yang menambahkan nya untuk reformasi protestan, seperti yang pernah dilakukan Gogarten dalam hampir semua knaifan gerakan tubuh. Dia mencarikeadilan utnuk jiwa yang bertiup pada orang kristen, memperagakan dirinya sendiri, dalam sebauh bidang sesulit teologi, “Kebebasan hati” yang dia sendiri ajarkan. Dengan demikian dia mengambil alih satu sisi, selayaknya dalam kelakuan keaslian berfikir mandiri, pengenalan kita terhadap perbedaan fundamental antara “It” dan “Thou” dan dari keberadaan sejati dari ”I” dalam pertemuan. Tapi disisi lain, dia tidak bisa mengenali secara benar bahwa konsep kemanusiaan seperti iut telah bisa tumbuh diatas tnah apapun daripada kristologi (“Yesus kristus sebagai “manusia” untuk kesejawatannya dengan Tuhan dan dengan demikian bayangan Tuhan”). Dia menegaskan, meyakinkan, bahwa anthropologi teologi yang didalam sini carana sendiri menembus penentuan ini mengakhiri kedatangan ungkapan dalam pernyataan-pernyataan yang cukup samabagi mereka yang didalam kemanusiaan telah mencapai dari keseluruhan sisi yang lain (contoh, dengan memukul confusius oleh ateis L. Feuerbach, oleh yahudi BUBER). Dia meminta legitimasi penuh :”Haruskah kita, oleh karenanya mengijinkan diri kita sendiri untuk mundur dari pernyataan-pernyataan ini?” dia ingin seungguhnya, menggembirakan dalam semua ketenagan yang dalam arah yang umum sdari penelitian kita dan presentasi yang kita temukan diri kita sendiri dalam persetujuan tertentu dengan orang-orang lebih bijak diantara orang-orang dari seluruh dunia ini. “Tapi dia memunculkan tanpa tentu saja menginginkan memaksa- sebuah pertanyaan kuat yang kritis: “Apakah dan seberapa jauhkah mereka (Orang-orang lebih bijak ini) bisa mengikuti kita disi mereka dari konsekwensi akhir dan desesif dari konsepsi tersebut…” berlawanan terhadap pernyataan ini aku harus, memulai dengan memunculkan sebuah reservasi bahasa yang kecil: kemudian tidak bisa diterima bahwa ini lebih dari atau kurang dari orang-orang bijak yang disebutkan tidak, sesungguhnya, mengikuti ahli-ahli teologi tersebut (“Kita”). Tapi hanya karena merekea sendiri telah mengarahkan dalam pencarian mereka sendiri kepada yang serupa, bila tidak pasti sama, “konsekwensi-konsekwensi?” Barth memperhatikan hubungan-hubungan ini sekitar, “bahwa kebebasan hati antara manusia dan manusia sejauh yang dia kehendaki menusia. Mudah-mudahan dalam nalar bahwa “ketidak berkehendakan” diluar pertanyaan? Dimanakah keberhendakan ditemukan dan dimana tidak? Sekarang dia tidak muncul kepada kita”, ujar Barth “Karena walau ini kasus dengan konfusius, dengan Feuerbach dengan Buber”.
Aku tidak bisa menganggap diriku sendiri dalam hubungan ini untuk yang diagungkan, tapi bagiku betapapun anehnya, konfusius mengajarkan atau untuk lebih mendalilkan daripada keaslian ajaran manuisa dari Feuerbach. Namun apa yang menyentuhku diriku sendiri disini aku tak bisa meninggalkan yang tak dijelaskan. Tentu saja itu akan menjadi ketidak setujuan untuk dipaksakan mencegah keragu-raguan yang dimunculkan dengan kepastian milik seseorang. Kenyataannya, bagamanapun, disana perlu disini hanya sebagai perbincangan kecil dari pemikiran pribadi ku seperti Barth. Lebih dari itu, dunia protestan dari keyakinan dalam pemahaman Barth darinya tegak menentang Hasidic dalam pemahamanku akan hal itu. Dan disana diantara para hasidik dalam sebuah dunia keyakinan yang ajaran-ajarannya sungguh-sungguh berkomentar atas sebuah hidupnya kehidupan “keberhendakan” dari kebebasan dari hati sesungguhnya, bukan konsekwensi, tapi tentunya pra-anggapan yang paling dalam, tanah dari tanah. Seseorang hanya perlu mendengarkan bagaimana itu dikatakan: “Kepandaian tanpa hati adalah bukan apa-apa sama sekali. Piety adalah salah karena cinta sejati Tuhan mulai dengan cinta manusia. Tapi aku kan, aku bisa, menunjukan Karl Barth disini, di Yerusalem bagaimana Hasidic menarikan kebebasan hati kepada kesejawatan.

KARAKTER PIKIRAN
Collin Mc. Ginn

Terhadap pertanyaan Apa itu sifat dasar? Pertanyaan ini mengidentifikasikan topik filsafat yang dipermasalahkan. Tapi pertanyaan ini membutuhkan pembuktian dan kualifikasi sebelum memberikan ekspresi yang akurat terhadap pokok-pokok permasalahan yang berhubungan dengan filsafat pikiran.
Pertanyaan “Apakah sifat dasar pikiran?” mengundang kembali pertanyaan “Pikiran milik siapa?” kita sesungguhnya sering dan umum berbicara “Pikiran” tapi (seperti kata Aristoteles) ini tepat guna membatasi perhatian kita terhadap pikiran manusia; dengan demikian kita menyusun tugas-tugas kita seperti halnya pengkarakteristikan kehidupan mental dari spesies-spesies bagian bumi tertentu pada tujuan tertentu dalam sejarah kultur dan proses evolusinya.
Kita harus mencari perhitungan mental yang menempel pada pikiran binatang-binatang lain dan sesungguhnya terhadap pikiran makhluk-makhluk bermental terbelakang seakan kita bisa secara nyata membayangkannya. Hal ini sebenarnya lebih baik guna memfrasekan kembali pertanyaan kita dengan mengganti “Pikiran” menjadi “Penomena Mental”. Bahwa makhluk tanpa bahasa memungkinkan penderitaan nalar. Sama halnya, tapi lebih tepat, kita hendaknya mempertanyakan teori-teori yang membuat persepsi nalar. Suatu masalah penyelarasan kepercayaan, dalam pandangan bahwa sejumlah makhluk nampaknya mampu merasakan dunia walau sukar diperlengkapi untuk membentuk keyakinan tentang apa yang mereka yakini. Teori yang meletakan (secara Proporsional) pikiran pada hati dari fenomena tersebut. Mungkin pikiran semua makhluk akan berubah melalui penelitian yang seksama, menjadi secara fundamental sama, sehingga konsentrasi atas permasalahan manusia tidak akan menyimpangkan alam pikiran secara umum. Tapi kita hendaknya percaya terhadap kemungkinan bahwa pikiran mungkin beragam jenis.
Rumusan awal kita yang dipertanyakan membawa implikasi yang lain, yakni bahwa semua jenis “Penomena mental” adalah sama. Mungkin tidak hanya pikiran dari beragam jenis makhluk, katakan saja pikiran manusia, punya lipatan secara nalar bahwa tanda komponennya secara konseptual terpisah dan oleh karenanya bisa terjadi secara bebas –tapi mungkin tak ada persamaan dan aneh bila semua yang kita sebut mental. Tentunya para filsup (dan yang lainnya) telah menunjukan kekurang konsensusan, selama berabad-abad, atas pertanyaan milik bidang pengetahuan apa mental yang sepenuhnya sadar. Tidak terlalu drastis, dia mungkin membalikan konsep pikiran yang mendekati kepada apa yang kadang-kadang disebut suatu konsep “Persamaan Keluarga” mirip konsep suatu permainan –yaitu, menyebut "Penomena Mental" bukan perekaman kepemilikan beberapa ketertarikan properti tunggal atas semua bagian dan hanya disebut Fenomena, tapi lebih dari sekedar suatu masalah penggambaran perhatian terhadap sejumlah besar persamaan dan hubungan yang merupakan penangkapan rumusan sederhana.
Penyimpangan yang lebih jauh dari pertanyaan awal kita adalah bahwa tidaklah seperti yang diekspresikan, mewakili kita dengan suatu bidang penelitian filasafat secara khusus. Karena tidak ada yang membedakan filsafat pikiran dengan pembelajaran penomena mental yang diselenggarakan oleh ilmu psikologi secara keseluruhan. Tidak terlalu menganggap penyimpangan-penyimpangan tertentu dalam konsepsi psikologi yang diadopsi sepanjang perkembangan sejarahnya benar adanya yang mengatakan bahwa ini adalah urusan psikologi guna meneliti sifat dasar "Penomena Mental" –guna mengembangkan teori, prinsip-prinsip atau hukum-hukum apa "Penomena Mental" -"Penomena Mental" ini yang mengatur gerakan-gerakan mereka. Kemudian bagaimana dua prinsip ini berbeda? Menjawab pertanyaan ini menarik kita untuk menegaskan sifat dasar filsafat ini sendiri –Apa metode itu sendiri dan apa status hasilnya. Demikian juga atas pertanyaan bagaimanakah penelitian secara filsafat pikiran yang berhubungan dengan penelitian ilmiahnya. Bahwa para filsup juga meneliti "Penomena Mental" mereka sendiri tapi dia melakukannnya dengan meneliti konsep-konsep mental; konsep mental adalah lebih dari sekedar metode dari pada objeknya itu sendiri. Apa maksud (atau seharusnya) dengan menyatakan bahwa filsafat berhubungan dengan konsep-konsep ini. Adalah bahwa filsup mencari guna menemukan kebenaran dasar yang nyata tentang Fenomena pikiran –kebenaran yang bisa meyakinkan tanpa penelititan menyeluruh atas pikiran dan cara kerjanya dan kebenaran yang menyimpan kebaikan untuk "Penomena Mental" yang mungkin bebas dari implikasi dalam pertanyaan. Dan kebenaran-kebenaran itu ditemukan secara nyata dengan menguraikan isi dari empat konsep mental. Tujuan dari psikologi saat ini lebih ambisius dan lebih modest –dia ingin menemukan seluruh arti pekerjaan aktual dari pikiran makhluk ini atau makhluk itu.
Sebuah perumpamaan dengan bidang yang lain membantu mejabarkan kekontrasan ini. Kita bisa mengambil sikap atas pertanyaan apa sifat dasar bahasa? Kita bisa bertanya pada ahli tata bahasa aktual, ponologi dan pada bahasa-bahasa yang berhubungan -katakan saja Inggris-, demikian juga terhadap pertanyaan yang lebih umum seperti pada pertanyaan dari seluruh bahasa manusia. Ada pertanyaan-pertanyaan menyeluruh dan jawaban mereka tidak dianggap menyeluruh terhadap setiap kemungkinan bahasa. Para filsup bahasa, walau demikian, memiliki pandangan yang lebih luas (bila memang demikian) atas hal-hal karakteristik, ketertarikannya adalah dengan citarasa bahasa-bahasa apapun, dengan demikian prosedurnya adalah guna menguji konsep bahasa dengan pola pandang untuk menemukan bagaimana seharusnya sebuah bahasa yang hendaknya mendasari filsafat pikiran, seperti kemungkinan disini jauh dari apa yang kadang-kadang disebut filsafat psikologi adalah bahwa penelitian secara filsafat dari sifat dasar dan keberartian hasil dan metode psikologi ilmiah. Disiplin ini kemudian adalah terhadap psikologi pikiran seperti filsafat fisika adalah untuk pertanyaan metafisika terhadap sifat dasar fisika dunia.
Mengapa kita berharap mempelajari segala yang penting (atau bahkan benar) dari refleksi konsep-konsep asli kita? Perhatian ini adalah cara yang keseluruhannya masuk akal –karena secara lebih pasti tidaklah benar secara umum bahwa konsep kita cukup berisi guna mengajukan atau menarik para intelektual. Dengan demikian kita tidak berharap bahwa sifat dasar binatang atau bahan kimia atau perubahan-perubahan fisika akan didekatkan kepada kita anehnya memantul melalui konsep-konsep biasa. Mengapa? Ini masuk akal dipertanyakan, haruskah masalah ini berdiri secara terpisah dengan hubungan konsep-konsep mental ini maka bahwa hendaknya benar-benar memukul kita sebagai suatu fakta yang penting –terlebih lagi, sebagai suatu petunjuk terhadap sifat dasar khusus dari pikiran seperti yang terlihat melalui konsep-konsep yang mendasarinya.
Konsep mental adalah unik didalamnya mereka dijabarkan kedalam dua hal yang nampaknya sangat berbeda, semisal keadaan-keadaan dimana kita menerapkan mereka terhadap diri kita atas kekuatan-kekuatan kesadaran didalam diri keadaan mental kita, seperti ketika seorang manusia menilai dirinya bahwa dia sakit kepala; dan kita juga menerapkan mereka terhadap yang lain, pada kekuatan luar manifestasi dalam tindakan dan pembicaraan. Kesulitan khusus yang dihadirkan oleh dua model penjelasan ini adalah bahwa merupakan konsep yang sama yang dijelaskan pada penilaian orang pertama dan ketiga. Namun ada tendensi alami dan kuat untuk menganggap bahwa isi konsep mental merefleksikan keadaan karakter mereka, dengan demikian kita munculkan secara terpaksa untuk memilih ketiga posisi yang tidak menarik ini. Sebagai suatu isi dengan konsep-konsep ini adalah: Baik itu (i) Kita menyenangi penggunaan orang ketiga dan menghindari kesulitan dalam memberikan suatu jumlah kepuasan dari bagaimana konsep mental diterapkan pada yang lain; atau (ii) Kita menyenangi penggunaan orang ketiga dan maka menghilangkan daftar karakter khusus dari penjelasan orang pertama; atau (iii) Kita mencoba menggabungkan penggunaan keduanya, dengan demikian menghasilkan campuran atau amalgam dari dua elemen yang sepertinya tidak berhubungan, berdasarkan sejarah pandangan terhadap pikiran bisa dibedakan menurut arah yang mana mereka telah memungkinkan diri mereka sendiri tertarik kedalam: Baik itu pengklaiman sifat dasar penting dari "Penomena Mental" yang dinyatakan hanya pandangan subjek penerapan mereka (“Cartesianisme”); atau pengklaiman bahwa sifat dasar yang sesungguhnya dari mental ditunjukan hanya dalam penilaian kita tentang keadaan pikiran yang lain (“Behaviourism”). Kedua pandangan ini memberikan konsep mental sebuah sisi yang menyeluruh tapi keduanya nampak jelas berbeda dalam hasilnya. Berdasarkan pandangan yang anda ambil dari refleksi atas "Penomena Mental". anda sampai pada pandangan tertentu tentang fenomena yang sangat alami tersebut. Guna menghindari ketiga alternatif yang tidak menarik ini –Cartesianisme, dan amalgam- dari kita nampaknya membutuhkan ide kebenaran mental tunggal. Masalahnya adalah bahwa tidak munculnya ide semacam itu. Kita tidak serta merta memakai suatu konsepsi dari pikiran dan kemudian melanjutkan utnuk menjabarkan cara yang mana pikiran tersebut dikenal dengan kata lain bahwa tidak ada konsepsi pikiran Neutral secara Epistemologi: Kita tidak bisa membentuk suatu gagasan pada beberapa "Penomena Mental" dengan tanpa mengadopsi salah satu perspektif estimologi yang lain atasnya. Harapannya kemudian adalah menemukan suatu cara yang masuk akal guna menghubungkan konsep yang ditentukan dengan aspek kedua yang lain dari isinya.
Dengan masalah-masalah abstrak ini dari metode yang harusnya dicatat, sekarang mari kita mundur kedalam bidang mental dan mencoba sejumlah klasifikasi pada perikatan atau taksonomi dari apa yang kita temukan disana. Skemanya adalah bahwa kita akan menemukan sesuatu yang paling berguna dalam apa yang mengikuti untuk membagi "Penomena Mental" menjadi apa yang bisa kita sebut “Nalar” kita akan mampu merasakan secara jasad nalar sakit, geli, pusing. Nalar secara jasad tidak memiliki dunia dengan cara tertentu kedua memiliki apa yang kadang-kadang kita sebut isi kualitatif. Suatu tingkah laku proporsional, dari keragaman jenisnya, dikenali oleh dua faktor; jenis tingkah laku itu sendiri –percaya, harapan, nalar takut, keinginan, dan lain-lain- dan dalil atas ke- yang mana -tingkah laku diarahkan.
Dua jenis klasifikasi tidaklah ekslusif dalam indra yang diberikan keadaan mental hanya memiliki satu dari karakter-karakter ini. Tentang keadaan-keadaan mental seperti itu kita bisa mengatakan dua hal yang tepat dari taksonomi yang disarankan; Kita bisa mengklaim bahwa mereka benar adalah mental campuran, yang tersusun dari nalar dan suatu tingkah laku proporsional dalam gabungan dan bahwa taksonomi hendaknya diterpakan pada tingkat bukan campuran; atau kita bisa mengatakan bahwa taksonomi membedakan tampilan mental bukan keadaan mental seperti yang kita temukan pada mereka- dan pada kasus diatas kita harus melakukannya dengan dua tampilan yang digabung dalam suatu keadaan mental tunggal.
Nalar memiliki pandangan pada suatu hal lebih sederhana, lebih asli, dari pada tingkah laku proporsional, dan bayi terbukti merasakan sesuatu sebelum mulai berpikir sesuatu. Nalar nampaknya milik tingkat evolusi lebih awal dan lebih asli dari tingkah laku proporsional dari perkembangan individu. Ketika kita mencarikan keyakinan dan ketertarikan terhadap suatu makhluk kita berada dalam urusan pembuatan nalar –dalam ras ini- pada segala hal.
Perbedaan lebih jauh antara nalar dan tingkah laku proporsional muncul ketika kita mempertimbangkan bagaimana kesadaran diterapkan dalam dua kasus tersebut. Kita mungkin tidak menyadari keyakinan dan ketertarikan yang mempengaruhi tindakan dan kesadaran hidup kita. Perbedaan ini perlu dijelaskan dan itu menjawab tepat kecurigaan bahwa untuk apa dua "Penomena Mental" tersebut menjadi kesadaran yang mungkin tidak sama. Adalah suatu hal yang alami menarik perspektif orang ketiga atas mereka; tapi karena nalar tidak bisa menjadi ketidaksadaran kita secara alami menarikapa yang khusus dan yang nyata dari mereka menjadi tingkah laku dari persentasi mereka dalam kasus orang pertama.
Kita katakan bahwa kesadaran ini intrinsic terhadap nalar tapi eksentrik terhadap tingkah laku proporsional : memiliki nalar adalah memilikinya secara sadar, seolah olah keberadaan tingkah laku tidak cukup bagi mereka untuk menyadarinya. Salah satu cara memelihara kriteria kesadaran dalam hubungannya dengan masalah ini adalah dengan mengatakannya. Bukan berdasar pada keadaan mental seseorang bila dan hanya bila itu sadar, tapi lebih dari bila dan hanya bila dia bisa jadi sadar. Mungkin konsep pikiran mirip konsep kehidupan dalam hubungan ini; kita melakukannya dengan cukup bagus membagi dunia menjadi yang hidup dan yang tak hidup. Kita tentu saja bisa mengatakan bahwa sesuatu itu hidup hanya bila dia itu tergerak.
Ada pemikiran sesuatu yang membangun yang bisa kita katakan tentang sifat dasar kesadaran dan ini adalah bahwa kepemilikan kesadaran bukanlah suatu masalah tingkatan. Dengan catatan bahwa ini adalah suatu klaim tentang apa itu menjadi sadar, bukan suatu klaim tentang pengetahuan kita seperti terhadap apakah suatu makhluk itu sadar, ini bisa jadi masalah tingkatan dan garis batas masalah keyakinan tidak akan menjadi garis batas masalah sadar keyakinan.
Konsep pikiran bertentangan dalam hubungan ini dengan konsep kehidupan, karena tidaklah sulit untuk memaksa diri sendiri bahwa konsep terakhir tidak mengakui garis kesederhanaan yang nyata dari kesadaran; karena bila kesadaran adalah suatu kualitas yang sederhana dia tidak akan bisa membentuk konstituen yang memiliki pemisahan yang mungkin menghasilkan garis batas masalah. Atau mungkin itu karena kesadaran begitu berbeda dengan benda yang tak satupun bisa menghasilkan, -sebagai suatu contoh dari suatu kemajuan dari mereka. Dan ada teori-teori tentang pikiran, seperti “Meterialisme” dan “Behaviourisme”.
Kita bisa menyimpulkan masalah ini sebagai berikut: Tujuan dari filsafat pikiran adalah untuk tingkah laku dan suatu penelitian awal menjadi sifat dasar "Penomena Mental" yang penting, dengan menjelaskan isi laten konsep mental; "Penomena Mental" bisa dilakukan melalui pendekatan pandangan orang pertama atau orang ketiga, keduanya perlu disatukan (Bila ini memungkinkan) menjadi suatu kesatuan; fenomena ini mungkin bermanfaat bila dipisah menjadi nalar dan tingkah laku proporsional yang membedakannya dalam sifat dasar mereka; kedua "Penomena Mental" secara lekat terikat dengan kesadaran, walau bukan dengan cara yang sama, kesadaran itu sendiri diketahui hanya dengan pengenalan, diaphanous, dan tidak mengenal tingkat. Dengan persiapan-persiapan menanganinya kita sekarang bisa berpindah mendiskusikan beberapa masalah yang mengelilingi sifat dasar pikiran.

PIKIRAN DAN TUBUH
Pertanyaan yang berhubungan antara "Penomena Mental" dan keadaan fisik khususnya otak, umumnya mengacu kepada masalah pikiran jasad ada alasan untuk menyebut pertanyaan itu sifat dasar dari hubungan masalah ini. Ketika kita berpikiran secara refleksi di "Penomena Mental" kita menemukan bahwa kita mengenali mereka memiliki dua golongan properti: satu golongan yang mengundang kita membedakan bidang mental dengan fisik. Kita nampak dipaksa mengakui suatu model Sui Generic dari kenyataan "Penomena Mental" lengkap yang paling sederhana dari pengakuan ini bahwa pikiran harus dipisahkan dari jasad adalah penalaran bahwa suatu susunan bersifat molekul belaka, ditingkatan kompleksitas apapun. Namun, sebaliknya kita harus, memisahkan dengan golongan tentang kebenaran mental yang lain, secara nyata mendorong kita kearah yang berlawanan: ”Penomena Mental" tidak bisa diterima sebagai bentuk luar dunia fisik dengan demikian secara seimbang mengenali kebenaran, berikutnya: Bahwa pikiran memiliki suatu jenis tempat terpisah secara temporal, secara kasar dimana jasad adalah; bahwa setiap pikiran memiliki dan bertindak nyata bahwa pencatatan ketidakterbentukan adalah dikatakan (sekurang-kurangnya) dari hubungan dubois; bahwa ada hubungan penyebab dari beragam jenis antara kejadian mental dan kejadian fisik. Pertimbangan-pertimbangan ini mencondongkan kita menghormati pikiran seperti fisik dalam sifat dasar karena ilmiah menganggap bahwa fisik itu sendiri bisa jadi begitu lekat berhubungan dengan fisika.
Masalahnya adalah bahwa dua golongan kebenaran tersebut nampaknya dalam tekanan fundamental, karena satu bagian membuat kita memikirkan pikiran yang tidak bisa secara fisik sementara yang lain mengatakan itu harus. Itu adalah tekanan ini yang membuatnya pantas dibicarakan masalahnya pikiran dan jasad bukanlah hal mutlak manusia; dia muncul juga pada binatang yang lain. Dan dia membantu, dalam pembebasan pemikiran kita dari penghakiman dan ideologi, guna mempertimbangkan masalah-masalah dalam penerapan pikiran-pikiran yang lain dari milik kita sendiri: Tak ada yang penting yang akan lolos bila kita mengambil tikus atau monyet atau makhluk rawa sebagai contoh.
Kita disini terkadang mengalami suatu konflik konseptual yang tidak mudah dipecahkan dengan melakukan penilaian terhadap semua pertimbangan masalah. Dengan demikian bisa dikatakan beragam jenis dualisme yang ditawarkan sebagai ekspresi metafisika dari gagasan yang mana pikiran berbeda nyata dalam sifat dasar dengan jasad: Pikiran dan jasad diterima sebagai benda atau substansi yang berbeda, kurang lebih hubungan secara terpisah. Sebaliknya, ada banyak versi monisme, menyatakan bahwa hanya ada masalah dan tanda-tanda nyata, pikiran menjadi jenis yang penting bagi penyusunan benda-benda dunia. Kita mulai dengan monisme.
Versi yang paling jelas dan tak terkompromikan dari monisme adalah pendapat bahwa "Penomena Mental" secara literatur identik dengan Fenomena fisik: Bila seseorang mempunyai suatu nalar atau suatu pemikiran dan satu Neurophysicogis yang sedang meneliti bagian hubungan diotaknya, maka keadaan mental adalah tidak ada dari keadaan fisik yang lain. Terlebih lagi, kapanpun suatu keadaan mental dari jenis itu terjadi dalam pikiran makhluk. Ada jenis yang sama dari keadaan otak, ini menjadi identik dengan jenis monisme terkadang disebut jenis teori identitas. Kita mungkin dihadapkan pada dua cara berbeda dengan suatu "Penomena Mental", secara fisik, secara mental, (Lebih terkenalnya). Berikut ini adalah suatu perumpamaan: suatu substansi katakan saja air, mungkin nampak cukup berbeda ketika kita melihatnya dengan mata telanjang dengan ketika diteliti dibawah mikroskop, sehingga tidak akan jelas bahwa dia adalah satu dari benda yang sama. Untuk membuat masalah ini masuk akal dari pendalaman identitas kita butuh satu pembeda antara benda yang dinyatakan oleh sebuah kata dan konsep yang mengekspresikannya. Benda adalah apa yang mendapat identitas, konsep adalah apa yang membuat identitas menyeluruh dan informatif.
Ada sejumlah kesulitan-kesulitan yang dihubungkan ssecara erat dalam beragam pandangan, yang nampaknya memiliki sumber yang sama. Dengan kata lain nampak bahwa konsep mental telah mengandung esensi fenomena mental dan bahwa konsep fisik tak cocok dalam peranan ini. Esensi spesifikasi konsep mental terikat kedalam estimologi mereka: Yaitu, bagaimana "Penomena Mental" dihadapkan dari pandangan orang pertama dan orang ketiga yang menentukan sifat dasar mereka seperti yang dinyatakan dalam konsep-konsep yang diterapkan dari pola pandang mereka. Dengan demikian pola pandang orang pertama, fakta kesadaran adalah apa yang menginformasikan konsep diri kita dan keadaan mental. Dari pola pandang orang ketiga konsepsi keadan mental kita diinformasikan oleh kriteria secara tingkah laku yang kita gunakan alam menerapkan konsep mental terhadap yang lain. Pendangan orang pertama lebih integral terhadap nalar daripada terhadap tingkah laku proporsional, pola pandang orang ketiga setidaknya sepenting pola pandang orang pertama dalam pembentukan konsepsi kita dari keadaan-keadaan mental ini. Dengan demikian penjelasan tingkah laku proprsional (sebagian) dikendalikan oleh beragam pertimbangan normatif yaitu pertimbangan tentang tingkah laku apa yang hendaknya dimiliki seseorang.
Seseorang yang menyelaraskan keyakinannya (dan kadang-kadang keinginannya) dibawsah dua jenis tekanan : Dampak dari informasi baru yang menginformasikan atau tidak menginformasikan keyakinan yang telah dipegang; dan dengan memperhatikan ketidakkonsistenan, dari sifat dasar logis, antar keyakinan yang telah dia miliki. Apa yang bisa dicatat. Adalah bahwa prinsip-prinsip normatif mempengaruhi keyakinan anda dalam cara yang paling nyata dan paling desesif ketika anda menjadi sadar akan keyakinan anda dan walau demikian dari ketidak konsistensian adalah (terutama) apa yang memungkinkan pertimbangan-pertimbangan normatif mempengaruhi keyakinan; jadi penyesuaian yang rasional akan keyakinan seseorang terhadap yang lain nampaknya melibatkan kesadaran diri, yaitu pengetahuan akan apa yang anda yakini. Refleksi-refleksi atas tingkah laku proporsional ini, secara rasional dan kesadaran diri mendorong analisa yang lebih jauh, yaitu bahwa kepemilikan kelakuan yang paling proporsional membutuhkan sensitifitas terhadap prinsip-prinsip rasionalitas, dan sensitifitas semacam itu pada gilirannya tergantung pada kesadaran kelakuan seseorang. Analisa bahwa konsep-konsep mental tidak menentukan keberadaan dengan suatu sifat dasar fisik secara alamiah membawa kepada klaim bahwa jenis mental dan fisik tidak berhubungan secara penting; nyatanya klaim berikutnya, bila benar, bisa disebut sebagai suatu argumen begitu dari analisa terdahulu. Dengan demikian mungkin memiliki salah satu dari hal-hal yang berhubungan tanpa yang lainnya, mereka tidak bisa identik cukup umum, hubungan dengan beragam ciri mental nampaknya memungkinkan bagi makhluk yang berbeda untuk memiliki tanda yang sama dan walau berbeda dalam jenis apa keadaan otak berhubungan dengan ciri.
Dualisme adalah doktrin yang didalamnya "Penomena Mental" dalam suatu substansi immaterial secara nyata berbeda dari substansi material yang membentuk jasad. Seperti halnya keadaan jasad adalah kualifikasi dari jenis-jenis tertentu dari benda, yakni bahan, jadi kualifikasi keadaan mental adalah jenis benda yang berbeda yang tidak berhubungan dengan sifat dasar. Doktrin ini nampaknya bisa menarik karena dia menyita hampir kebanyakan keseriusan gagasan yang mana pikiran secara esensi berbeda dari zat. Harapannya adalah bahwa bila kita menempatkan pikiran dalam suatu bahan yang secara khusus dirancang kita akan mampu melakukan penilaian terhadap mungkin menjelaskan penmapilan mental yang berbeda. Namun demikian ada sedikitnya tiga kelas yang keberatan terhadap teori dualisme.
Pertama; gagasan substansi mental secara ganjil adalah ketika anda berpikir tentang hal itu, namun nyat-nyata aneh: tidak cukup jelas, bahwa beberapa konsepsi yang setara bisa dipahami berhubungan dengan kata “substansi immaterial”. Dia adalah secara sederhana suatu substansi yang bukan material.
Kedua; ada keraguan nyata seperti terhadap apakah, bahkan bila kita mampu memahaminya, substansi immaterial adalah kemampuan memutus peranannya. Nyatanya, bila bisa diperdebatkan bahwa dia hanyalah ketidak mampuan kita membentuk gagasan nyata dari substansi semacam itu yang menyebabkan kita menganggap bahwa penempatan "Penomena Mental" diadalamnya adalah suatu perkembangan monimisme. Kita tidak memiliki konsepsi dari sifat dasarnya yang berdiri sendiri. Namun ini nampaknya untuk hasil yang kita miliki keadaan mental yang kita miliki; dia tidak menyediakan suatu hasil metafisika dari apa yang kita miliki dimana keadaan-keadaan itu berada.
Tapi yang ketiga; dan yang paling berperan, dualisme meiliki masalah penjelasan atas bagaimana pikiran terhubungkan kepada jasad dan terhadap dunia fisika secara menyeluruh; harga diri penempatan pemikiran dalam suatu bidang immaterial adalah bahwa dia menjadi tertutup dari dunia fisika yang kita ketahui dia menjadi terperangkap. Dengan demikian kemandirian pikiran dalam otak menjadi suatu misteri bagi mereka yang menemukan prospek yang tidak ditoleransi ini (Secara keilmuan atau secara praktek) akan menginginkan untuk menolak teori dualis yang muncul bagi mereka yang menemukan kemungkinan dari ketidak nyataan bertahan pada pendirian mereka. Dalam refleksi terhadap evolusi kita nampaknya dipaksa menganggap bahwa pikiran bagaimanapun berasal dari zat, tapi ini adalah sesuatu dimana dualis tidak bisa menerimanya. Mencoba membayangkan mekanisme sejenis apa yang memungkinkan substansi material dan immaterial bersatu secara sebab.
Tapi dualisme terbukti secara lengkap dan secara meta fisika penangkis teori –sebuah teori yang kita akui lebih baik untuk meningkatkan atasnya bila kita bisa. Kesimpulannya adalah seperti ini baik itu monisme dan dualisme dan telah dinilai tidak bisa ditopang tapi halnya ini bisa nampak sebagai jalan keluar dari bidang ini, jadi masalah pikiran dan jasad kelihatan tak terpecahkan. Maka kita bisa berpegang pada kebendaan mental yang menjadi luas “Sui Generic” tanpa menggenggam subjek-subjek mereka adalah substansi atau objek berbeda dari beragam objek fisika, khususnya berbeda dari jasad, ini penting karena dia menyarankan suatu cara pengenalan sifat dasar khusus dari "Penomena Mental" tanpa menjadi ciri fisika darinya.
Karena penggabung yang nyata dan keberatan adalah mengklaim bahwa kejadian mental identik bagi mereka sendiri dengan kejadian fisik dalam otak, walau kebendaan mental mereka kurang lebih berbeda dari beragam kebendaan fisik dari kejadian-kejadian otaknya. Anggap saja suatu analogi sebuah kejadian yang mana baik itu pembunuhan raja dan penyebab revolusi -satu kejadian yang menyebabkan dua kenyataan. Kita sekarang dalam posisi untuk merumuskan pendapat berikut: setiap kejadian mental identik dengan kejadian fisik, walau kenyataan dalam pandangan dari kejadian itu mental bukanlah kenyataan fisik mereka sendiri. Bandingkan setiap objek berwarna identik dengan beberapa objek yang memiliki spesifikasi masa, tapi ciri warna bukanlah ciri massa. Pendapat ini terkadang direferensikan sebagai suatu teori Token-Identity sebagai kebalikan dari teori type-identity. Dengan menggali perbedaan antara objek dan kebendaan: "Penomena Mental" terperangkap dalam dunia fisika dalam pandangan dari identitas objek-objek mental (kejadian) dengan fisik (kejadian), tapi mereka tidak bisa dikurangi terhadap fakta-fakta tentang dunia fisika karena kebendaan mental bukanlah kebendaan fisik. Kita sebut saja gabungan ini dalam pandangan Non-reduktive monimisme.
Kita bisa membedakan dua jenis ciri berbeda dibawah fakta-fakta penting berikut: beberapa ciri berhubungan dengan bagaimana fakta-fakta ini muncul pada kita, hubungan lain terhadap apakah kita memikirkannya sebagai sifat dasar intrinsic objektif dari fakta-fakta itu. Namun sekarang kita harus mempertimbangkan fakta-fakta mental dan bertanya pada diri sendiri apakah kita bisa nampak bahwa ciri yang mereka milliki semua berasal dari sisi non-ilmiah, atau setidaknya, semua ciri itu yang merupakan esensi sifat dasar fakta-fakta mental.
Non-reduktif monisme adalah doktrin yang agak lebih lemah, karena dia tidak menyatakan apa-apa tentang bagaimana kebendaan mental dan fisik terhubungkan bila mereka berbeda. Dengan demikian token-identity itu sendiri cocok dengan kemungkinan berikut: bahwa dua makhluk bisa memiliki kebendaan fisik yang hampir sama menuju struktur mikro dan otak mereka, dan walau tidak memiliki kesamaan kebendaan mental –karena obbjek-objek bisa memiliki masa yang sama dan berbeda sebesar dalam hubungannya dengan warna. Pada point ini perhatian nampaknya mengganjal kita: bila kita menggabungkan super vernince dengan token-identity. Perhatian ini tidak berdasar tapi kita harus menjaganya dari pernyataan yang salah tentang hal itu. Gagasan yang salah adalah bahwa teori super vernince secara otomatis mengimplikasikan identitas mental dengan kebendaan fisik. Ini adalah kesalahan karena kemandirian yang diklaim super venince hanya berjalan satu arah: dia menyatakan bahwa kesamaan ciri-ciri fisik mengimplikasikan ciri-ciri mental –dia mengatakan bahwa kesamaan ciri-ciri mental membutuhkan kesamaan ciri-ciri fisik. Dan kedua arah kemandirian menjadi penting sebelum ciri identitas menjadi proporsi yang mudah dikerjakan terlebih lagi, super venince tidaklah, dengan alasan sama, mengimplikasikan secara serta merta bahwa ciri mental memiliki suatu sifat dasar fisik; ini akan menjadi masalah hanya bila (Apa yang super venince tidak menjelaskannya) kesadaran harus memiliki sifat dasar secara fisik. Kasus ini muncul berbeda dengan fenomena kehidupan; kebendaan ini juga super venince atas fisik –bila dua hal ini sama secara fisik, maka keduanya hidup sebagai kesatuan.
Kita akan mempertimbangkan dua jenis respon terhadap masalah ini jenis pertama dari respon tersebut menyarankan bahwa kita telah salah dalam mengasumsikan bahwa zat menentukan pikiran dalam pandangan kebendaan material; bahwa zat itu sendiri tidaklah murni zat dalam sifat dasarnya, tapi lebih melandasi kebendaan mental bahkan sebelum diatur untuk membentuk otak makhluk. Pola pandang ini kadang-kdang disebut Panpsychism, karena dia memegang yang membekas pada mental yang harus ditemukan dalam semua zat. Pola pandang ini hendaknya dibedakan dari idealisme, yang mana merupakan doktrin bahwa setiap benda adalah murni mental; Panpsychism mengklaim bahwa setiap zat benda, bahkan konstituen mutlak dari zat memiliki kebendaan mental dalam hubungannya terhadap fisika seseorang, ada sejumlah keberatan terhadap Panpsychism sebagai berikut;
Pertama; Panpsychism secara metafisika dan secara keilmiahan tidak masuk akal. Dengan demikian kebendaan mental harusnya dinyatakan tidak berguna secara asal sebabnya. Secara jelas tuduhan keabsurdan ini bisa dilipat gandakan.

Tapi kedua; penjelasan Panpsychism dari super venince hanya mendorong masalah kembali atau hal lainnya, dia menggali sendiri motifasinya. Tapi jawaban ini meyakinkan karena, pertama intuisi super venince pada tingkatan makro, dan argumen atasnya, tidak bergantung pada ciri kebendaan mental secara taktis terhadap konstituen otak; dan kedua, kita bisa menjalankan argumen awal untuk super venince dari pertimbangan tentang ketidak tepatan tingkah laku pada tingkatan mikro juga, sekarang katakan saja tingkah laku menjadi gerakan dan kekuatan dari konstituen dari zat dalam pertanyaan. Jadi baik itu Panpsychism mengkompromikan titik awalnya sendiri atau dia memindahkan masalah-masalah yang dirancang untuk memecahkan tingkatan yang lain.

Dan ketiga Panpsychism diperlukan dengan dilema berikutnya, jenis respon yang kedua yang akan kita anggap kebohongan pada lawan yang ekstrem dari Panpsychism. Panpsychism mengambil pikiran menjadi secara radikal non-fisik dan mencoba menjelaskan kedaruratannya dari zat dengan meneliti zat dengan mendasari pikiran. Hasilnya adalah sebagai berikut; sifat dasar dan ciri-ciri mental yang diberikan tidak oleh keadaan fisik internal dari organisme, tapi dengan peranan dari ciri-ciri tersebut.

Fungsionalisasi tentunya memiliki beberapa ciri-ciri keuntungan. Dia mungkin dari masalah, kerusakan secara fatal terhadap type-identity, yang membedakan mekanisme fisik yang mungkin memiliki peranan fungsi yang sama; fungsionalisasi mungkin, sesungguhnya bisa dikatakan menjelaskan penampilan mental ini. Dia juga merangkap hubungan konstituen dengan tingkah laku proporsional, karena peranan sebab suatu keadaan mental adalah sesuatu yang objektif dan bisa dikenali secara umum, dan keadaan mental hanya terdiri dari peranan sebab mereka sendiri, nampaknya bahwa pikiran harus terbuka terhadap pengetahuan orang ketiga. Dan yang paling penting bagi kita dia menyediakan jawaban terhadap masalah-masalah yang penting. Penggabungan fungsionalisasme tentang kebendaan mental dengan suatu teori token-identity dari cir-ciri mental, akan nampak memberi kita satu konsepsi pikiran yang memenuhi secara teori. Beikut adalah dua jenis itu; Tuduhan akan teori tersebut bila benar, maka secara tidak penting benar; tuduhan bahwa teori tersbut sepenuhnya salah.
Tanggung jawab keslahan menjadi lebih jauh dan perebutan klaim bahwa peranan klausal bahkan mengidentifikasikan suatu keadaan mental. Bila tanggung jawab ini bissa dibuat lurus, maka para ahli fungsionalis akan dibuat malu oleh hasil-hasil berikut; bahwa dalam peandangan poin hanya dibuat pertahanan resiprokal dari kebendaan-kebendaan fisik dan peranan sebab mereka, keadaan mental sendiri dalam ketidak terbuakaan para ahli fungsional konseptual akan benar dalam segala hal kecuali mental!.
Pantas dicatat bahwa kita tidak bisa menghasilkan kasus-kasus itu secara selesai dalam hubungannya dengan tingkah laku proporsional, kecuali bila kita mendasarkan mereka pada masalah-masalah kita.
Usaha kita sampai pada teori kepuasan hubungan antara pikiran dan badan yang belum mencapai kesuksesan total. Kita telah bila itu benar, berhasil dalam beragam cara menghadapai penjelasan bagaimana pikiran bisa berbeda dalam sifat dasar dengan badan walau secara erat terhubungkan, tapi kita belum menjelaskan bagaimana fisik organ tubuh yaitu otak, bisa jadi dasar dari kesadaran –bagaimana objek-objek fisik bisa menerima kesimpulan pesimistis ini, karena sesungguhnya ada sesuatu tentang otak yang membuat mereka sadar, apakah kita tahu dan memahaminya atau tidak.
KEBEBASAN DENGAN BENDA-BENDA
Salah satu karakter yang paling penting dari pikiran adalah kemampuan menjadi sadar terhadap berbagai hal. Senyatanya, pengarahan yang lain ini nampaknya menjadi esensi karakter pikiran; menjadi sadar akan ini atau itu. Suatu pengalaman mungkin mengurangi suatu keadaan akan benar-benar keadaannya, dengan elemen-elemen situasi perceptual ini dibedakan kita bisa bertanya, pertanyaan-pertanyaan berikut; sifat alam apa perceptual dyadic dalam hubungannya antara pengalaman orang dan objeknya? Bagaimana suatu isi pengalaman diterima? Apakah hubungan antara objek perceptual dan isi perceptual?
Untuk membuat kemajuan atas dua pertanyaan pertama kita hendaknya mengingatkan diri kita sendiri akan beberapa kebenaran yang tak bisa disangkal yang melandasi ketiga pertanyaan itu. Kesalahan penentuan ini karena antara isi dan objek ditunjukan dalam suatu pengalaman mungkin jadi sebagai suatu objek dengan tampilan objek tidak nyata dari persepsi, dalam pendangan fakta, bagaimana benda-benda nampak tidak selalu sebagaimana benda-benda itu. Kasus yang paling aneh dari beragam ilusi pandangan semacam ini dihubungkan dengan persepsi psikolog, bahwa suatu kesalahan pandangan pengalaman berisi tidak secara otomatis melindungi kesalahan pandangan objek. Dari kebenaran-kebenaran yang tidak dapat disangkal ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa isi dan objek adalah dalam pikiran tertentu, saling mandiri; kita tidak bisa menarik kesimpulan isi dari suatu pengalaman dari pengetahuan dari objeknya; dan kita tidak bisa mengambil kesimpulan identitas objek pengalaman perceptual dari pengetahuan akan objeknya.
Bahwa pengalaman secara esensi dalam model penampilan, kadang-kadang diletakan dengan mengatakan bahwa pengalaman itu sepenuhnya “Kualitatif”, tapi dalam pandangan akan bahaya kekeliruan dengan cara yang lain dalam mana kata ini digunakan untuk mengkarakteristikan pengalaman, yaitu untuk mengurai subjektifitasnya, lebih baik mengungkapkan pandangan saat ini dengan mengatakan bahwa isi pengalaman dipersempit dalam hubungannya dengan konsep umum sendiri. Sebaliknya nampaknya bahwa mengurai objek pengalaman kita benar-benar membutuhkan referensi asli untuk ciri-ciri objek; dengan demikian kita memilih objek perceptual dengan menggunakan nama.
Harus dicatat bahwa aspek-aspek isi secara perwakilan cukup berbeda dengan ciri-ciri intrinsik. Pertanyaan yang kemudian muncul seperti kepada apakah kebendaan intrinsik pengalaman memainkan suatu peranan kausal dalam otak dalam hubungannya dengan peranan yang dimainkan oleh suatu keterwakilan kebendaan. Bila memang demikian, maka dia akan nyata suatu peranan yang berbeda dari yang dimainkan oleh keterwakilan isi, karena dia tidak akan berhubungan dengan bagaimana dunia dipahami seperti saat ini; jawaban nampaknya demikian bahwa kebenaran intrinsik benar-benar memiliki beberapa peranan, tapi maslahnya adalah menurun dan kontroversial.
Hasil semacam ini dari kebebasan konseptual telah sering dipikirkan untuk mengenalkan ketidak terarahan yang pasti ke dalam kebebasan kita dengan dunia eksternal; hasil telah dianggap untuk meyakinkan kita terhadap ide-ide bahwa objek-objek yang penting dari kebebasan benar-benar pengalaman mereka sendiri dan bukan objek-objek eksternal kita umumnya mengambil mereka menjadi pengalaman.
Teori yang berlawanan dengan dillema itu yang diarahkan adalah bahwa kita mendapat keterbatasan dengan objek-objek eksternal dengan bantuan atau dalam pandangan, kepemilikan pengalaman, yang mana pengalaman-pengalaman yang disebabkan oleh objek-objek itu; kekhawatiran adalah bahwa pengalaman akan muncul pada gambaran ini antara kita dan dunia. Ada, secara sama, tiga hal yang terlibat dalam persepsi; penerima, pengalaman, objek.
Pertimbangan-pertimbangan yang lain yang mengarahkan para filsup terhadap kesimpulan yang luar biasa ini, tapi bila ini dibuat lebih rinci mereka secara mudah terlihat termasuk kekuatannya; kita akan secara singkat menyebutkan tiga pertimbangan yang berdampingan. Satu kesalahan pendapat dari alasan-alasan ini adalah; anggapan kita menjelaskan objek dari kebebasan perceptual menjadi hal-hal itu yang diterima tapi tidak dalam pandangan penerimaan beberpa hal yang lain. Kita juga menerima permukaan-permukaan mereka dalam pandangan kepemilikan pengalaman-pengalaman objek itu sendiri pasti merupakan objek cepat dari persepsi.
Suatu garis argumen yang tidak terlalu bagus yang kedua bertukar gagasan dari kausal yang hampir sejenis guna mendorong objek nyata dari kebebasan menjadi pikiran; dianggap bahwa karena pengalaman-pengalaman berdekatan secara kausal kepada subjek dari pada objek eksternal, bahwa itu adalah mereka yang dipahami penerimaan subjek; kita hendaknya menyatakan bahwa itu adalah mereka yang dipahami dengan cepat garis pikiran ini membingungkan secara sederhana logika dari suatu hubungan dengan logika yang lain.
Pertimbangan yang ketiga yang telah memberatkan dengan beberapa kelengkapan dalam kebebasan suatu tendensi untuk membangun dua konsep yang cukup berbeda menjadi definisinya. Disatu sisi, ada gagasan akan hal itu yang secara langsung berhubungan dengan pikiran tanpa proses pengalaman disisi lain, ada gagasan objek-objek yang memiliki sifat dasar dan keberadaan yang diketahui dari subjek.
Kita sekarang memiliki hasil dari susunan kebebasan perceptual; pertanyaan kita berikutnya adalah apakah, dan bila demikian bagaimana, perhitungan ini bisa dijalankan melalui isi representatif dari tingkah laku profesional. Bila suatu keyakinan dengan demikian dipacu dari kebebasan perceptual, maka cara didalamnya yang mana dia merupakan penerimaan awal dari ini muncul mengikuti bahwa untuk mengurai model konseptual presentasi yang menggunakan konsep umum ini adalah satu kesimpulan dengan isi pikiran muncul secara radikal di konfrontasikan oleh praktek-praktek aktual kita dalam penjabaran pikiran.
Sifat dasar dari spesies-spesies yang lain adalah hal yang lebih sulit, tapi dia akan membantu bila kita menjaga kasus persepsi dalam pikiran sebagai satu model dan bertanya apakah jenis-jenis kebebasan ini harus menunggu perhitungan metafisika sifat dasar objek kebebasan semacam itu.

PEMIKIRAN DAN BAHASA
Manusia yang normal dilengkapi dengan keduanya pikiran dan bahasa; contohnya, mereka memiliki pemikiran yang diungkapkan dalam bahasa. Tapi bagaimana lekatnya hubungan antara memiliki pemikiran dan tindakan bahasa. Bila kemandirian pemikiran bahasa adalah suatu masalah dari ketidak murnian dan kesukaran, pembicaraan sendiri secara umum tidak dianggap demikian. Dengan demikian ada bukti bahwa berbicara satu bahasa membutuhkan kepemilikan pikiran, ini menjadi nyata apa yang menjadi kalimat dari suatu bahasa yang diungkapkan. Sistem-sistem komunikasi ini seperti bahasa membuatnya pantas diungkapkan mereka satu pengecualian terhadap kemandirian bahasa dalam pemikiran; mereka sangat komplex dan tersusun, dan dia tidak nampak salah dalam mengevaluasi pesan-pesan, simbol-simbol mereka yang menyampaikan kebenaran dan kesalahan, atau setidaknya kebenaran dan ketidak benaran tapi perbedaan yang berarti dari bahasa tertentu adalah bahwa makhluk hidup memakai sistem-sistem tanda-tanda tidak membuat ketegasan secara masuk akal dalam menghasilkan pesan-pesan komunikatif; karena ketegasan benar-benar memerlukan dasar tingkah laku proporsional. Jelaslah bahwa perasaan tidak tergantung dari bahasa bagi kesenangan mereka. Persepsi juga akan memungkinkan terhadap Non-bahasa; makhluk hidup secara pasti bisa melihat pemangsa atau merasakan rumput tanpa kehadiran basaha. Bahwa kepemilikan kesadaran tidak terikat secara berarti dengan bahasa. Tapi bila kita akan menyimpulkan bahwa pemikiran kita tidak akan benar-benar mempelajari bahasa atau tidak secara esensi. Maka kemudian dia akan nampak bahwa filsafat pikiran menjadi sentral. Yaitu membuat penilaian adalah tegak didalam hubungan psikologi tertentu terhadap item bahasa interior, guna menggunakan, dengan kata lain, bahasa pikiran.
Tak ada satupun penelitian filsafat pikiran yang akan lengkap tanpa sejumlah indikasi hubungan antara filsapat pikiran dan area filsafat yang lain, bahwa filsafat pikiran menempati posisi secara sentral dengan filsafat sebagai satu kesatuan, tidak hanya satu bagian subjek yang mana metode-metode filsafat dibawa guna melandasi topik penting –yaitu pikiran dengan cara bahwa fisafat moral, hukum, sejarah, agama, matematik, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya adalah secara mendekati ditampilkan; lebih dari, dia berasal dari bagian yang lebih mendasar dari filsafat dengan efistemologi, metafisika dan (menurut pendapat sejumlah fislup bahasa. Ini sejak atau hanya tidak) karena beberapa pertanyaan sentral dari filsafat adalah terbitan-terbitan filsup pikiran-masalah pikiran dan badan, sifat alami itu sendiri, hubungan antara pikiran dan kenyataan.
Satu cara dalam mana filsafat pikiran bisa berarti sangat khusus ini adalah bahwa filsafat sangat peduli dengan susunan dan isi dari pikiran kita tentang dunia, dan sifat dasar pikiran adalah suatu topik yang termasuk filsafat pikiran. Dengan demikian para filsup telah sangat sering mengedepankan teori tertentu dari pikiran dan melakukan penilaian kepentingan beragam konsep berdasar pada apakah mereka mengkonfirmasikan terhadap teori pikiran yang terpilih; bila mereka gagal mengkonfirmasikan dengan revisi konsekwen dalam konsepsi kita akan dunia. Dia kadang-kadang disebutkan bahwa filsafat atau pada beragam tingkat analisa filsafat abad dua puluh satu, terutama diarahkan pada bahasa dan arti bahasa. Tapi dia perlu ditempatkan dalam perspektif yang tepat. Bagi mereka yang merekomendasikan kepedulian fundamental dengan bahasa melakukan hal demikian karena mereka menganggap bahasa sebagai jalan yang tepat terhadap pikiran dan pandangan metafisika tidak terjawab terhadap pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan hal yang masuk akal.
Bahwa kita harus mengasumsikan pikiran yang ditimbulkan secara halus dengan beragam jenis prinsip-prinsip kognitif dan kemampuan-kemampuan sesungguhnya, bahwa pengetahuan proposisi tertentu dibangun menjadi gen-gen kita. Ini telah diterapkan dalam matematika dan tata bahasa, diantara hal-hal lain; pikiran tidaklah secara asli dibentuk oleh prinsip dan kemampuan yang menghasilkan ilmu pengatahuan matematika dan tata bahasa.

ANALISA ANTARA MANUSIA DAN MANUSIA DIPERBANDINGKAN DENGAN BEBERAPA PENDAPAT

Bahwa filsafat ilmu berkembang dari masa kemasa, objek-objek penelaahaannyapun selalu berkembang, salah satu objek penelaahan filsafat ilmu adalah Manusia. Karena segala sesuatu yang ada dan berkembang saat ini tak terlepas dari peranan manusia yang yang merupakan Makhluk Berpikir (Homo-Sapien). Dari penelaahan tentang manusia baik dari sikap, tingkah laku, pola pikir, budaya, sastra sampai kepada keadaan manusia itu sendiri telah menghasilkan beragam disiplin ilmu yang terus menerus berkembang, hubungan antar personal manusia juga tak telepas dari penelaahan filsafat ilmu, salah seorang peneliti keberadaan manusia adalah Martin Buber yang berbicara banyak tentang manusia dan ke “Akuannya” serta hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Prinsip penelaahan Martin Buber disandarkan pada keadaan manusia yang dihubungkan dengan segala sesuatu yang ada disekitarnya, juga eksistensinya Aku dilihat dan dihubungkan dengan Thou / kamu atau It/Dia. Menurut Buber “Aku/I” tak akan mungkin ada bila tidak ada “Kamu/Thou”. Dalam “I and Thou” Buber mengkontraskan dua sikap utama manusia –dua cara tersebut mendekati eksistensi. Salah satunya adalah hubungan “I and Thou”, yang lainnya adalah hubungan”I – It”. Perbedaan dua hubungan ini adalah bukan pada sifat dasar dari objek yang berhubungan, seperti yang sering difikirkan. Tidak semua hubungan antar orang adalah hubungan “I and Thou” demikian juga hubungan dengan hewan atau benda sebagai hubungan “I – It”. Dan Thou itu sendiri tidak harus manusia, tapi bisa juga benda, binatang dan alam sekitarnya. Dan masih menurut pendapat Buber bahwa “Thou / Kamu” yang abadi adalah “God / Tuhan”, walau terkadang Tuhan sendiri tidak selalu merupakan Thou / Kamu, bisa menjadi It / Dia. Analisa lain dari hubungan Aku – Kamu, yang diprotes Buber adalah hubungan satu yang tunggal dimana pendapat ini diungkapkan oleh Kierkegaard; bahwa satu yang tunggal adalah Tuhan namun berdasarkan beberapa penganalisaan dari Buber maka dia mengajukan teori bahwa sebenarnya manusia juga adalah satu yang tunggal. Ini bila dihubungkan dengan keberadaan manusia secara kelompok, dimana “Aku - Kamu” adalah satu / tunggal. Pendapat Buber ini didukung oleh Collin Mc. Ginn dengan pendapatnya tentang Pikiran yang tentunya adalah merupakan sifat dasar manusia, satu hal yang merupakan akar rumput segala pendapat filsafat bahwa masalah ini adalah sebagai berikut: Tujuan dari filsafat pikiran adalah untuk tingkah laku dan suatu penelitian awal menjadi sifat dasar "Penomena Mental" yang penting, dengan menjelaskan isi laten konsep mental; "Penomena Mental" bisa dilakukan melalui pendekatan pandangan orang pertama atau orang ketiga, keduanya perlu disatukan (Bila ini memungkinkan) menjadi suatu kesatuan; Untuk pemecahan dari ketuhanan antara “Kamu” dan “Kamu” memperlakukan menyesatkan keberartian yang paling dalam dari penggalian “Aku” dan “Kamu”. Bahaya yang muncul kemudian dari ateisme mistis sekarang muncul dari piety theistic. Non-reduktif monisme adalah doktrin yang agak lebih lemah, karena dia tidak menyatakan apa-apa tentang bagaimana kebendaan mental dan fisik terhubungkan bila mereka berbeda. Dengan demikian token-identity itu sendiri cocok dengan kemungkinan berikut: bahwa dua makhluk bisa memiliki kebendaan fisik yang hampir sama menuju struktur mikro dan otak mereka, dan walau tidak memiliki kesamaan kebendaan mental –karena obbjek-objek bisa memiliki masa yang sama dan berbeda sebesar dalam hubungannya dengan warna. Pada point ini perhatian nampaknya mengganjal kita: bila kita menggabungkan super vernince dengan token-identity. Seseorang hanya perlu mendengarkan bagaimana itu dikatakan: “Kepandaian tanpa hati adalah bukan apa-apa sama sekali. Piety adalah salah karena cinta sejati Tuhan mulai dengan cinta manusia. Tapi aku kan, aku bisa, menunjukan Karl Barth disini, di Yerusalem bagaimana Hasidic menarikan kebebasan hati kepada kesejawatan.
Disarikan dan diterjemahkan dari buku "Between Man and Man" Karya Martin Buber.

TEROR BOM dan SISTEM INTELEJEN

Sejak tahun 2000 tapatnya pasca Reformasi negara Indonesia sering diguncang teror bom, teror itupun ada yang memang nyata terjadi ada juga teror yang hanya isapan jempol ulah orang-orang jahil. Yang perlu kita cermati sekarang ini adalah kembalinya teror bom mengguncang negeri tercinta Indonesia yang berpengaruh terhadap berbagai sektor, baik sektor ekonomi maupun sektor pertahanan dan keamanan.
Dengan adanya teror bom yang mengguncang Jakarta baru - baru ini menyadarkan kita akan arti pentingnya Inlelejen sebagai suatu kekuatan Preventif terhadap segala tindakan kejahatan. Di jaman orde baru Regime Suharto menggunakan intelejen dari tingkat pusat sampai tingkat daerah (kelurahan dan Desa) sehingga ketika muncul suatu gerakan mereka sudah mampu mengantisipasi dan mengendalikan keadaan. Di tingkat daerah para Babinsa (Bintara Pembina Desa) adalah ujung tombak intelejen yang sangat efektif dan efisien.
Sayangnya saat sekarang ini pemerintah kurang mampu menggerakan dan memanfaatkan para anggota Babinsa dan Binmas untuk keperluan intelejen.
Perlu disadari bahwa awal dari suatu gerakan besar yang mampu mengguncang keamanan nasional berawal dari satuan daerah terkecil dan ini mungkin tidak terjangkau oleh intelejen pusat. Peran masyarakatpun diharapkan bisa berperan aktif dalam menanggulangi bahaya laten teroris. Saatnya kita sebagai warga negara untuk peduli pada keamanan negara dengan mengamati dan memperhatikan daerah dan lingkungan sekitar kita. Kenali siapa saja tetangga kita dan bila ada yang mencurigakan jangan ragu-ragu untuk melaporkannya pada aparat yang berwenang walau mungkin tanggapan dari pihak yang berwajib kurang berkenan di hati kita, setidaknya kita telah berperan serta dalam penciptaan keamanan dan kenyamanan berbangsa dan bernegara. Semoga ke depannya aparat intelejen kita mampu dan sanggup menangani kasus-kasus terorisme di negara kita.