Jumat, 26 Juni 2009

Ujian Nasional sebuah Mega Proyek Pembodohan

Sejak tahun 2004 dunia pendidikan mengalami perubahan kurikulum, kurikulum terdahulu di ganti dengan kurikulum baru yaitu kurikulum berbasis kompetensi yang kemudian katanya disempurnakan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Sejak tahun itu pula diberlakukan sistem Ujian Akhir Nasional atau dikenal dengan UAN, yang kemudian diganti lagi dengan istilah Ujian Nasional atau UN. Pada awal UAN mata pelajaran yang di ujikan yaitu Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia (IPA); Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Ekonomi (IPS) dengan batas nilai kelulusan 4, kemudian mengalami perubahan sejak tahun 2006 / 2007 mata pelajaran yang dujikan menjadi 6 untuk masing-masing jurusan dan nilai kelulusan pun dinaikan secara bertahap setiap tahun. Dan tahun ini nilai kelulusan menjadi 5,5.
Tujuan penyelenggaraan Ujian Nasional ini semestinya menjadi sebuah indikator kemajuan di bidang pendidikan hanya saja pada penyelenggaraannya di lapangan menjadi suatu momok yang sangat menakutkan bagi semua pihak.
Dalam Undang-undang SISDIKNAS dibuat suatu acuan kelulusan, salah satu diantaranya adalah Nilai Ujian Nasional. Namun pada kenyataannya semua indikator-indikator kelulusan menjadi tidak berguna manakala nilai Ujian Nasional tidak mencapai batas nilai kelulusan, yang tentunya hal ini sangat memberatkan berbagai penyelenggara pendidikan dan peserta didik ditingkat daerah yang belum mempunyai struktur pendidikan dan sarana pendidikan yang memadai.
Namun sepertinya Pemerintah menutup mata akan hal ini, pemerintah hanya melihat dari sudut pandang ibukota dan dari sudut pandang kemajuan tekhnologi disebagian daerah di Indonesia.
Seperti tahun - tahun sebelumnya Ujian Nasional tahun inipun meninggalkan duka yang cukup mendalam dan tekanan psikologis bagi sebagaian peserta didik yang tidak berhasil lulus pada Ujian Nasional tahun ini. Mereka yang tidak berhasil mencapai nilai kelulusan harus rela mengulang ujian nasional dengan menggunakan sarana Ujian Persamaan yang tentunya nilai dan predikatnya jauh dibawah pendidikan formal SLTA. Bila kita kaji secara lebih explisit Ujian Nasional yang diselenggarakan tiap tahun ini mungkin tidak lebih hanya sebuah proyek bagi para pejabat penyelenggara pendidikan tanpa mengindahkan aspek - aspek kepentingan peserta didik. Coba kita renungkan berapa besar biaya yang sudah dikeluarkan oleh orangtua peserta didik selama peserta didik mengikuti pendidikan ditingkat satuan pendidikan tertentu, dan biaya itu belum termasuk beban moral dan materiil lain yang bila dikalkulasikan akan sangat memberatkan orang tua peserta didik. Kemudian ketika mereka mengikuti Ujian Nasional (yang juga di beberapa tingkat satuan pendidikan memerlukan biaya tambahan) dan mendapatkan nilai yang kurang dari nilai rata - rata kelulusan, secara otomatis bila mereka masih ingin mendapatkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) harus mengulang ujian dan bukan di sekolah asal melainkan dengan mengikuti ujian persamaan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS), lembaga penyelanggaranya biasanya berbentuk PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yang tentunya juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit (kisaran Rp. 1,5 juta - 2 juta)untuk bisa menjadi peserta ujian dan hal ini tentunya sangat memberatkan pihak orangtua peserta didik, belum lagi kesia - siaan selama tiga tahun mengikuti pendidikan di tingkat SLTA dan ketika lulus harus mendapatkan STTB dari Ujian Persamaan.
Dari fakta - fakta tersebut di atas masih perlukah penyelenggarakan Ujian Nasional? mungkin sebaiknya para pakar pendidikan mengkaji kembali penyelenggaraan Ujian Nasional, yang tidak tertutup kemungkinan proyek ini hanyalah sebuah proyek pembodohan peserta didik. Bila dibanding dengan sistem Ujian terdahulu yang berbentuk EBTA EBTANAS dimana nilai hasil ujian merupakan nilai murni peserta didik tanpa rekayasa dan tanpa campur tangan pihak sekolah rasanya itu lebih fair sebab peserta didik bisa mengukur tingkat kemampuan dan hasil pendidikan selama peserta didik menimba ilmu di bangku SLTA, selain itu dengan EBTA EBTANAS semua pihak bisa mengkaji mutu pendidikan di suatu daerah dengan berpatokan pada NILAI EBTANAS MURNI untuk menentukan kebijakan dibidang pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Namun semua kembali kepada i'tikad baik pemerintah untuk membenahi sistem pendidikan Indonesia yang sekarang ini terkesan sangat amburadul dan tanpa arah. QUO VADIS Pendidikan Indonesia?