Musibah banjir dan longsor yang terjadi di banyak daerah diawali dengan masuknya bulan-bulan basah. Bulan basah ditandai dengan tingginya curah hujan yang cenderung terjadi pada bulan September hingga Desember. Pada bulan-bulan basah tersebut sering membuat masyarakat di kota-kota besar menjadi agak was-was
Was-was terhadap musibah apa yang bakal terjadi akibat bulan-bulan basah tersebut. Kondisi aktual di Kota Padang dan beberapa tempat di Sumatera Barat, longsor dan banjir hampir terjadi disebagian besar bagian kota. Masalah banjir merupakan masalah klasik terutama di kota-kota besar sedangkan longsor salahsatunya diakibatkan curah hujan yang cukup tinggi.
Banjir memang masalah klasik, namun demikian apakah kita harus membiarkan masalah ini terus terjadi? Setahun yang lalu saya pernah diwawancarai oleh salah satu radio swasta yang intinya menanyakan apa yang menyebabkan terjadinya banjir dan bagaimana mengatasinya. Tahun ini saya ditanya lagi hal yang sama sekaitan musibah banjir dan longsor yang rutin setiap tahunnya terjadi. Jawaban saya tetap sama, karena tidak ada yang berbeda baik tahun lalu maupun tahun ini, mungkin juga untuk tahun-tahun yang akan datang. Walupun ini agak pesimis, tetapi inilah yang dimaksud masalah klasik. Namun demikian tidak salah jika biarlah kita punya mimpi dari pada tidak sama sekali.
Apa mimpi saya (dan bukan tidak mungkin juga mimpi banyak masyarakat kota lainnya)? Yaitu punya kota yang tidak lagi menjadi langganan banjir dan longsor yang tidak menelan korban jiwa dan kerugian harta benda. Sebetulnya kita selalu tidak belajar dari apa yang pernah terjadi sehingga ketika kejadian terulang lagi dan lagi, kita hanya punya rasa sesal pada saat itu, tetapi tidak berbuat banyak untuk merubahnya menjadinya lebih baik untuk masa yang akan datang. Kecenderung lupa atau melupakan musibah demi musibah tanpa berupaya mengatasinya.
Banjir di banyak kota terjadi disebabkan beberapa faktor. Pertama yang amat menyolok adalah disebabkan oleh tutupan daerah terbangun yang sangat tinggi. Tutupan daerah terbangun (buillding covered area) adalah luas suatu daerah yang dimanfaatkan untuk bangunan. Jika buillding covered area suatu kawasan tinggi artinya adalah ruang yang terbangun lebih banyak dari pada ruang yang tidak terbangun (BCR/Building Covered Rasio) tinggi. Akibatnya jika hujan turun, tidak ada lagi ruang/kecil sekali ruang terbuka yang dapat menampung limpahan air hujan. Ruang terbuka tersebut sesungguhnya berfungsi sangat vital sebagai ruang resapan air baik pada skala mikro (hunian/rumah tinggal), maupun skala makro (kota). Jika pada skala mikro maupun makro tidak tersedia ruang terbuka yang berfungsi sebagai daerah resapan, maka akan kemana larinya limpahan air hujan tersebut? Apalagi jika dibarengi dengan tingginya curah hujan, maka akan terjadilah banjir.
Ruang terbangun di berbagai kota lebih banyak difungsikan untuk tempat hunian atau rumah penduduk yang biasanya merupakan ruang yang mempunyai BCR sangat tinggi. Klasifikasi BCR terdiri dari BCR tinggi, sedang dan rendah. Building Covered Rasio tinggi yaitu > 60 persen, BCR sedang 40 persen - 60 persen sedangkan BCR rendah < 40 persen. Tetapi justru di kota-kota besar BCR sangat tinggi terutama dipusat kota yang notabene merupakan daerah terbangun terutama fungsi komersial/ekonomi, perkantoran dan hunian. Hal ini dapat dipahami karena nilai ekonomi ruang di pusat kota sangat tinggi yang mempunyai korelasi positif terhadap tingginya BCR. Sedangkan tingginya BCR di kawasan hunian disebabkan oleh keinginan penguni untuk memaksimalkan fungsi ruang yang terbatas karena pertumbuhan jumlah anggota keluarga dan keinginan membangun hingga 100 persen dari luas kavling yang dimiliki.
Lantas bagaimana mengatasi hal tersebut agar di pusat-pusat kota tidak terjadi banjir sementara nilai ruang tetap dapat dimanfaatkan secara optimal. Tidak lain adalah dengan mengendalikan tata ruang yaitu dengan menetapkan intensitas bangunan pada kawasan fungsional. Sebagai alat untuk menentukan intensitas fungsional kawasan antara lain BCR/KDB, FAR/KLB serta tinggi bangunan
Sesungguhnya building covered ratio suatu kawasan fungsional tertentu telah diatur dalam suatu rencana tata ruang yaitu Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Selain BCR/KDB juga diatur KLB (Koefisien Lantai Bangunan/Floor Area Ratio) dan ketinggian bangunan. Alat-alat tersebut terutama berguna sekali untuk menentukan intensitas/kepadatan bangunan dalam suatu kawasan /ruang kota. Ketetapan intensitas suatu kawasan tidak lain salah satunya berguna untuk mengantisipasi banjir. Jika suatu kawsan telah ditetapkan dengan intensitas bangunan yang tinggi atau rendah tentunya telah melalui analisis yang mendalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terutama daya dukung dan daya tampung lahannya.
Oleh sebab itu hendaknya masyarakat perlu memperhatikan serta mempedomani hal ini jika ingin melakukan pembangunan terhadap rumah mereka. Biasanya untuk rumah tinggal, BCR yang ideal adalah 60 persen dan KDB 1. KDB 1 artinya total luas lantai bangunan yang ideal adalah seluas kavling yang dimiliki. Misalnya jika luas kavling yang dimiliki 150 m2, maka hendaknya total luas lantai bangunan adalah 150 m2 juga yang dibuat 2 lantai (bertingkat) dimana lantai dasarnya seluas 60 persen dari luas kavling (90 m2) sedangkan sisanya dibangun secara vertikal (bertingkat). Dengan demikian diharapkan masih ada 40 persen dari luas kavling (60 m2) yang dapat dimanfaatkan sebagai open space (ruang terbuka hijau) yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Hal ini sangatlah membantu suatu kota untuk memiliki ruang terbuka sehingga diharapkan dapat memperkecil resiko terjadi banjir minimal pada skala lingkungan terkecil.
Selain pada skala mikro (rumah tinggal) perlu disediakan ruang terbuka, pemerintah kotapun harus juga menyediakan ruang terbuka hijau kota yang multifungsi (terutama tentunya sebagai daerah resapan air). Penyediaan ruang terbuka hijau kota dibanyak kota-kota besar menjadi dikotomi, satu sisi fungsi lingkungan sosial tetapi kontroversi dengan nilai ekonomi ruang yang profit oriented. Banyak terjadi alih fungsi lahan yang dulunya berfungsi ruang terbuka hijau berubah menjadi fungsi komersil, sehingga akan terus mengurangi ketersediaan ruang terbuka kota yang notabene berfungsi vital yaitu sebagai daerah resapan kota.
Pada sisi lain pihak pemerintah kota pun hendaknya ada upaya pengendalian dan monitoring terhadap pembangunan yang dilakukan masyarakat. Umumnya di banyak kota telah memiliki RTBL sebagai guide lines pembangunan namun selain itu tentu perlu kemauan dan keseriusan pemko untuk bekerja keras melakukan pemantauan terhadap pembangunan yang dilakukan di wilayahnya terutama sekali pada kawasan hunian. Pembangunan yang tidak mengikuti guide lines yang telah ditetapkan dalam RTBL, hendaknya ditindak tegas dengan memberikan peringatan atu punishment sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Hal ini sesungguhnya bukanlah barang baru, tetapi entah mengapa sangat sulit dilaksanakan. Memang bukanlah pekerjaan semudah membalikan telapak tangan, namun keseriusan dan tidak ada kata terlambat untuk menjadikan kota bebas banjir.
Faktor ke dua yang dapat menyebabkan banjir adalah sistem drainase suatu kota baik drainase primer, sekunder maupun tersier. Salah satu sistem drainase adalah dengan konsep kolektif yaitu dimulai dari drainase tersier yang terhubung dengan drainase sekunder dan berakhir pada drainase primer. Drainase tersier biasanya berasal dari rumah-rumahtinggal/hunian, kemudian beberapa hunian menjadi suatu kawasan permukiman yang memiliki drainase sekunder dan pada akhirnya menuju drainase primer sebagai saluran pembuangan akhir yang biasanya menuju sungai/kali. Ketiga hirarki drainase ini hendaknya berkaitan satu sama lainnya menjadi suatu sistem drainase yang harus bersinergi dengan baik karena jika tidak maka inilah faktor lainnya penyebab terjadinya banjir.
Misalnya pada drainase tersier dan sekunder berfungsi dengan baik tetapi tidak terkoneksi atau tidak terhubung dengan drainase primer, maka harus kemana air hujan ini melimpah? Sebaliknya jika suatu kota telah memiliki drainase primer tetapi tidak terkoneksi atau tidak tersedia drainase tersier maupun sekunder, maka banjir akan menggenang di kawasan hunian. Hal ini banyak dijumpai pada komplek perumahan yang dibangun oleh developer yang jarang sekali memiliki sistem drainase yang baik. Maka jangan disesali banyak komplek perumahan yang sering mengalami banjir walaupun curah hujan rendah.
Selain sistem drainase yang harus baik, juga pada skala mikro hendaknya disediakan sistem drainase yang proporsional. Artinya dimensi drainase(riol/got/gorong-gorong) haruslah telah diperhitungkan dengan cara seksama, sehingga daya tampungnya lebih tinggi dari limpahan air hujan. Sehingga jika curah hujan tinggi, saluran drainase masih dapat menampung limpahan air hujan sehingga kecil kemungkinan akan menyebabkan banjir.
Disamping itu dari segi konstruksi saluran drainasenya sering menjadi masalah juga. Konstruksi yang asal-asalan malah kadang-kadang rumah/bangunan belum difungsikan tetapi saluran drainase sudah terban atau banyak sampah dan lain-lain yang agaknya tidak menjadi perhatian kita. Pada hal ini mempunyai andil yang tidak kecil penyebab aliran drainase tidak lancar dan pada akhirnya terjadi banjir. Aliran air yang tidak lancar artinya akan merusak sistem drainase dan pada akhirnya merusak sistem drainase kota secara keseluruhan.
Lantas bagaimana pula menyikapi longsor? Dari sudut tata ruang kota sebetulnya telah diatur mana ruang boleh dibangun dan mana ruang yang tidak boleh dibangun. Ruang yang dapat dibangun adalah ruang yang memenuhi kriteria aman bagi masyarakat penguni atau sebagai pemanfaat ruang. Antara lain bila kemiringan lahan < 15persen, maka kawasan tersebut ideal atau ditetapkan sebagai kawasan permukiman (boleh dibangun) sedangkan lahan dengan kemiringan besar dari 40 persen ditetapkan sebagai kawasan konservasi (tidak boleh dibangun). Sedangkan kawasan dengan kemiringan antara 15-40 persen adalah sebagai daerah penyangga (buffer zone) yang biasanya kawasan ini dapat dibangun dengan intensitas terbatas (kecil) yang berfungsi untuk menyangga daerah terbangun dengan daerah konservasi.
Hal inilah yang harus disosialisasikan kepada masyarakat dan atau menjadi tugas pemko. Jangan dikeluarkan IMB pada daerah-daerah yang tidak diperuntukan untuk semestinya, karena hal ini akan menuai akibat dikemudian hari. Dan relokasi permukiman yang telah terlanjur berada pada daerah konservasi ke lokasi yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat asal dan memang merupakan kawasan yang boleh dibangun.
Pemko memang punya tugas yang tidak ringan, namun demikian adanya keinginan stakeholder dalam hal ini adalah pemko, masyarakat maupun developer untuk mewujudkan kota ideal (minimal kota bebas banjir), bukan lagi sekedar mimpi warga kota.
Minggu, 22 Februari 2009
Langganan:
Postingan (Atom)